Menganut ajaran agama Hindu, kaum terpelajar, filosof, ahli sosio-religius, dan masyarakat dunia memahami Nitisastra sebagai kompendium ajaran agama Hindu yang hipogramnya tiada lain ialah Kitab Suci Weda. Pun demikian, Nitisastra mengandung ajaran yang luas. Namun secara sempit diartikan sebagai ajaran tentang kebijaksanaan duniawi, etika sosial politik, tuntunan dan juga berarti ilmu pengetahuan tentang negara atau iimu bangun politik berdasarkan ajaran agama Hindu.
Pengertian tersebut, tidak saja karena luasnya lipatan makna ajaran yang diserakkan sebagai mutiara kebijakan, namun seiring melajangnya waktu samudra pengetahuan tentang ilmu pengetahuan yang diembannyapun berkembang pesat. Sara-sara Nitisastra itu berserak mengkristal sebagai Mutiara Nitisastra yang secara universal dipakai sebagai pedoman.
Bila Robert C. Zaehner (1992) memetakan “Kebijaksanaan Dari Timur’ yang memandang agama Hindu sebagai fenomena sosio-religius yang sudah berumur kurang lebih 4000 tahun lamanya sehingga menjadi “belantara” kebijakan yang ditailnya tidak jarang merefleksikan saling pertentangan, maka sungguhpun demikian ada gunanya bila Mutiara Nitisastra dielaborasi dalam traksi universal. Sebab, kebijakan itu sendiri merupakan hakikat dari keseimbangan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri (intrapribadi), orang lain (antarpribadi), dan berbagai aspek kehidupannya (ekstrapribadi). Keseimbangan individu atas tiga aspek tersebut kemudian menentukan baik-buruk dan benar-salah tindakan yang diambil seseorang. Jika ketiga aspek tersebut dapat dipenuhi, maka seseorang dianggap telah mampu menerapkan konsep kebijaksanaan yang menyeluruh. Setidaknya, demikianiah menurut Robert Sternberg, seorang guru besar human developement modern.
Oleh sebab itu, Zaehner (1992) pula yang menyebutkan bahwa intisari dari Hinduisme sesungguhnya ialah “Sanatana Dharma”, dharma abadi, yaitu kebenaran, moralitas atau tindakan mulia. Lalu, dari manakah traksi universal Nitisastra dimulai? Bila keseimbangan individu merupakan sumber utama dari kebenaran, moralitas, dan tindakan mulia itu, maka sosok manusia individu itulah yang sesungguhnya merupakan pancaran sinar mutiara Nitisastra. Entah ia seorang pemimpin, intelektual, maupun rakyat jelata sahaja.
Traksi pertama yang harus digali ialah apakah sesunggunya tujuan Nitisastra sebagai kompendium ajaran agama Hindu? Tujuan Niti-sastra sesunggunya ialah dharma sidhayatra, yaitu pertimbangan untuk mencapai kebenaran sekaligus kesejahteraan. Dalam pada itu, dipertimbangkanlah jalan lempang mencapainya, yaitu: (1) iksa, berarti pandangan atau cita-cita untuk mencapai kesejahteraan; (2) Sakti, berarti kekuatan atau kemampuan dalam mencapai cita-cita, dalam hal ini hendaknya haruslah dimiliki kekuatan yang sesuai; (3) Desa, berarti batasan-batasan atau juga bisa disebut dengan keadaan. Dalam berbuat hendaknya harus mengetahui keadaan terlebih dahulu sebelum bertindak; (4) Kala, berarti waktu, hendaknya juga harus mempertimbangkan waktu sebelum melakukan sesuatu; (5) Tattwa berarti hakekat kebenaran, dalam menjalankan sesuatu hendaknya berdasarkan atas kebenaran.
Selanjutnya, traksi universal yang diajarkan oleh Nitisastra bahwa ada tiga jenis perbuatan yang harus menjadi doktrin mewujudkan keseimbangan individu yang disebut Tri Kaya Parisuda. Terdiri dari: (1) Manacika Parisudha, yakni berpikir yang baik. Pikiran anda mencerminkan siapa diri anda sesungguhnya (what you think is who you are). Oleh sebab itu, pertama-tama sucikanlah pikiran anda, maka orang akan mengenal siapakah anda sesungguhnya; (2) Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik. Terlepas dari masalah egaliterianisme, terlepas dari strata masyarakat, maka kedudukan anda ditentukan oleh tuturkata anda. “What you say is what you are“, apa yang engkau katakan mencerminkan siapa dirimu. Apakah anda orang pintar terpelajar ataukah engkau seorang pandir tiada guna? Itu direfleksikan dari tutur kata anda. (3) Kayika Parisudha, yakni berbuat yang baik. Macan meninggalkan belang, gajah meninggalkan gading, demikian kata pepatah. Apa yang engkau perbuat, itu pula yang akan diingat orang. “what you do is you are“. Apakah yang engkau perbuat itulah dirimu sesungguhnya. Apakah engkau akan dikenang sebagai orang yang berbuat kebaikan bagi orang lain ataukah kamu hanya sekedar nisada tiada guna? Atau mungkin engkau dikenang sebagai seorang baik yang memperoleh pencerahan sehingga pantas masuk sorga? Atau mungkin anda dikenang sebagai seorang daitya yang senantiasa mengumbar nafsu jalang sehingga dianggap pantas masuk liang neraka dengan penuh siksaan dari lingkaran bala? Semua itu tergantung orang lain menilai perbuatan anda. Demikianlah Nitisastra mengajarkan, bahwa hendaklah dalam keseluruhan kehidupan ini senantiasa berfikir, berkata, dan bertingkah laku yang baik.
Namun demikian, sesungguhnya pikiran yang amat terikat terhadap objek kepuasan menyebabkan ikatan, dan pikiran yang tidak begitu terikat pada objek kepuasan yang menyebabkan pembebasan. “Bandhaya visagasanggo, Muktau nirvisayam manah, Maria eva manusyanam, Karanam bandhamoksayah“, demikianlah Chanakya Nitisastra XIII.12 membahasakan. Apakah pikiran anda dipengaruhi oleh Sang Hyang Rahu sehingga senantiasa tiada henti hanya melakukan perbuatan yang dilingkupi oleh sadripu? Dikendalikan oleh kama (hawa nafsu yang tidak terkendali), lobha (selalu ingin mendapatkan lebih), krodha (selalu marah melampaui batas), mada (selalu mabuk sehingga terjerumus dalam lebah hitam), moha (senantiasa mengalami kebingungan), dan matsarya (selalu irihati dan dengki sehingga menyebabkan permusuhan)? Atau anda senantiasa dipengaruhi oleh Sang Hyang Ketu selalu berbuat dengan berpedoman pada dasa sila dharma? Dikendalikan oleh Drti (pikiran bersih), Ksama (suka mengampuni), Dama (kuat mengendalikan pikiran), Asteya (tidak mencuri), Sauca (bersih lahirdan batin), Indrayanigraha (mengendalikan gerak panca-indra), Hrih (memiliki sifat malu), Widya (rajin menuntut ilmu), Satya (jujur dan setia pada ucapan), dan Akroda (sabar dan tidak dikuasi kemarahan). Itulah sebabnya dinyatakan bahwa dengan mampu mengendalikan indria-indria kita akan mencapai pembebasan dari penderitaan. Sebaliknya, ketika tidak mampu mengendalikan pikiran, maka akan selalu terikat pada siksaan.
Mutiara Nitisastra yang ber-kaitan dengan perkataan yang menentukan jalan hidup seseorang diwakyakan oleh Kakawin Niti Sastra, V.3.: “Wasita nimi-tanta manemu laksmi, Wasita nimitanta pati kapangguh, Wasita nimitanta manemu dukha, Wasita nimitanta manemu mitra” (Karena berbicara engkau menemukan kebahagiaan, Karena berbicara engkau mendapat kematian, Karena berbicara engkau akan menemukan kesusahan, Karena berbicara pula engkau mendapatkan sahabat). Mulutmu harimaumu, demikian seringkasnya pepatah mengatakan. Itulah sebabnya Nitisastra mengajarkan agar senantiasa berkata baik.
Tidak kalah pentingnya, Mutiara Nitisastra berikutnya, yaitu “berbuat baik”. Canakya Niti Sastra, IV.4 menyebutkan bahwa: “Yavat svastho hyayam dehe, Yavan mrtys ca duratah, Tavad atmahitam kuryat, Pranante kirn karisyam“. Maksudnya, selama badan masih kuat dan sehat dan selama kematian masih jauh, lakukanlah sesuatu yang menyebabkan kebaikan bagi roh anda, yaitu keinsyafan diri.
Berbekalkan Trikaya Parisudha itu, Mutiara Nitisastra berikutnya mengintroduksi individu agar mengabdi pada ilmu pengetahuan karena hanya ilmu pengetahuan itulah sesungguhnya jalan pencerahan sehingga tujuan mokhsartam jagadhita ya ca iti dharma tercapai.
Mutiara Nitisastra menyebutkan hal ini dalam Kakawin Nitisastra V.1 sebagai berikut:
Takitakining sewaka guna widya,
Smarawisaya rwang puluh ing ayusya,
Tengah i tuwuh sanwacana gegenta,
Patilaring atmeng tanu paguroken.
Terjemahan:
Bersiap sedialah selalu mengabdi pada ilmu pengetahuan yang berguna. Hal yang menyangkut asmara barulah di perbolehkan setelah umur dua puluh tahun. Setelah berusia setengah umur menjadi penasehatlah pegangannya. Setelah itu hanya memikirkan lepasnya atma yang menjadi perhatian.
Keseimbangan individu dengan bekal ilmu pengetahuan yang tinggi merupakan Mutiara Nitisastra utama untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin panutan, yaitu rajarsi. Kitab Dandaniti menyebutkan bahwa seorang pemimpin hendaklah seorang yang disebut “rajarsi“. Sebagai puncak pimpinan pemerintahan haruslah bijaksana dan virtous. Cirinya sebagai berikut:
1. Memiliki kontrol diri, mampu menolak godaan yang datangnya dari indria duniawi;
2. Memupuk kecerdasan intelektual dan mengadakan asosiasi dengan orang yang lebih tua (pangelingsir, senior);
3. Senantiasa membuat mata terjaga melalui intelijen (mata-mata: spies):
4. Selalu aktif mempromosikan keamanan dan kesejahteraan masyarakat (welfare of the people);
5. Memastikan ketaatan masyarakat terhadap ajaran dharma melalui penegakan aturan dan memberikan contoh;
6. Senantiasa mengupayakandisiplin diri dengan mempelajari berbagai cabang ilmu pengatahuan; dan
7. Mengabdikan diri kepada masyarakat dengan niat sungguh-sungguh mensejahterakan masyarakat.
Dandaniti juga mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus: (1) Menjauhkan diri dari kenginan untuk memiliki istri banyak; (2) Tidak mempunyai keinginan untuk memiliki kekayaan yang banyak; (3) Mempraktekkan ajaran ahimsa dengan benar; (4) Menghidarkan diri impian semu (khayalan) setiap hari, ketidak-teraturan, upaya berdusta, dan melakukan pemborosan; dan (5) Menghindari hubungan dengan orang-orang yang berbahaya dan terlibat dalam kegiatan yang berbahaya.
Seperti dinyatakan Zaehner (1992), Mutiara Nitisastra ada yang melukiskan sifat pragmatik seorang pemimpin sebagai berikut:
Satyanrtaa ca parusia
Priyavadini ca
Himsatraa dayaalurapi
Carthaparaa vadaanyaa
Nityavyaya pracurannitya
Dhaanagama ca
Vaaranganeva nrpanitiraneka rupa
(Niti Sataka, 38)
Maksudnya:
Sifat seorang politisi yang pragmatis seialu berubah- ubah. Di suatu tempat bisa berkata benar dan jujur, di tempat lain bisa berkata bohong. Kadang bicara keras dan kasar, kadang-kadang bicaranya manis dan lembut. Kadang melakukan himsa karma yang menyakitkan, di sisi lain memberi pengampunan. Kadang suka menyumbang, di sisi lain amat serakah. Kadang uang dihamburkan tanpa perhitungan, kadang di sisi lain menumpuk kekayaan untuk dirinya tanpa dasarkebenaran. Demikiantah politisi pragmatis berubah ubah bagaikan pelacur. (Somvir, 2005.34).
Fenomena tersebut, menunjukan bahwa pemahaman terhadap Mutiara Nitisastra memerlukan kejernihan untuk memaknainya. Sifatnya sastrawi Nitisastra menyebabkan adanya Mutiara Nitisastra seperti itu. Apa yang diungkapkan dalam sifat sastrawi itu sesungguhnya merupakan doktrin yang sebaliknya, yaitu agar hal yang demikian itu tidak ditiru. Tujusan setiap insan manusia sebagai pemimpin, entah memimpin masyarakatnya maupun dirinya sendiri ialah ksayanikang papa nahan prayojana (menyirnakan kepapaan dan mensejahterakan semua orang).
Oleh: Jelantik Sutanegara Pidada
Source: Majalah Wartam, Edisi 34, Desember 2017