Mengetahui, Mengalami, dan Menjadi Deburan Keindahan Kekuatan

Mengetahui, Mengalami, dan Menjadi Deburan Keindahan Kekuatan

Pertemuan laut dan gunung tidak hanya memperlihatkan keindahan yang kasatmata, tapi juga menyembunyikan keindahan yang gaib, halus, dan rahasia. Keindahan terselubung itu konon menurut para yogishwara dan kawishwara memiliki kekuatan metafisika.

Bagaimana jalan menuju keindahan terselubung itu? Begitulah, orang-orang sekarang sering terlebih dahulu bertanya tentang apa yang mereka sebut jalan. Karena dengan mengetahui jalan, mereka pikir mereka akan sampai di keindahan terselubung itu. Kebanyakan di antara mereka lupa bahwa jalan hanya akan ditemukan oleh orang yang berjalan. Kebanyakan di antara mereka akhirnya tidak jadi berjalan, karena merasa belum diberitahu jalannnya.

Tapi biarlah. Orang memang boleh bertanya, sebagaimana orang juga boleh memberikan atau tidak memberikan jawaban. Maka yang sering terjadi sekarang adalah kegiatan tanya-jawab, bukan kegiatan berjalan itu sendiri.

Ada yang menjawab pertanyaan di atas seperti ini. Sagara giri, katanya, pertama-tama mesti dipahami sebagai sebuah pertemuan. Tidak bisa dipahami terpisah, bahwa di sini ada laut dan di sana ada gunung, atau sebaliknya. Dengan kata lain, di mana kaki gunung dibasuh oleh deburan ombak laut, di sana adalah zone pertemuan yang bercirikan keindahan dan sekaligus kekuatan.

Walaupun tidak persis sama, bisa diibaratkan seperti tirta (air suci) yang selain terasa sejuk juga diyakini memiliki kekuatan metafisika. Dan tirta memang sering disebut wangsuhpada, yang berarti ”air basuhan kaki”, yaitu air basuhan kaki para dewa, terutama Shiwa.

Nama lain dari Shiwa sebagai dewa gunung adalah Girinatha. Di kaki Shiwa Girinatha yang dibasuh air ombak laut itulah konon para kawi dan yogi memuja misteri terhalus (paramatisuksma). Pemujaan para kawi itu dipahami paling tidak memiliki dua arah.

Arah Pertama, keindahan memasuki dirinya. Keindahan itu menjadi isi dari pikiran, budi, dan kesadaran mereka. Isi itu memberikan rasa kepenuhan (siddhi). Ia tidak penuh oleh dirinya sendiri, tapi budinya penuh oleh energi halus yang memberikan rasa kecukupan. Dari budi yang penuh berisi rasa berkecukupan seperti itulah konon karya-karya mereka diciptakan. Seperti air mengalir membersihkan hati pembacanya. Seperti sinar bulan yang menerangi kegelapan dan sekaligus menyejukkan kegelisahan hati.

Arah kedua, dirinyalah yang memasuki keindahan. Mereka meleburkan diri ke dalam keindahan. Sehingga mereka menjadi keindahan itu sendiri. Setelah menjadi keindahan mereka akan mulai memiliki sifat-sifat dan sekaligus kekuatan. Inilah makna ”mengetahui adalah mengalami, dan mengalami adalah menjadi!”

Dalam karya-karya tentang Sagara Giri, nampak dengan sangat jelas bahwa para kawi sangat menyucikan kawasan pertemuan laut dan gunung. Para kawi itu nyata-nyata adalah juga seorang yogi yang menjadikan shastra dan keindahan sebagai sadhana, atau sarana pencapaian tujuannya.

Karena itu pulalah maka seorang kawi dan seorang yogi disebut sadhaka. Dalam bahasa kita sekarang, sadhaka itu adalah orang suci yang benar-benar suci yang tidak tepat diterjemahkan dengan kata sulinggih. Karena sulinggih belum tentu orang suci. Kebanyakan di antara sulinggih adalah manusia biasa seperti kita yang dibedakan karena mendapatkan upacara yang disebut diksha. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa upacara diksha memang bisa diadakan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan beberapa pihak.

Yang jarang terjadi adalah orang yang di-diksha oleh keindahan terselubung dari Sagara Giri. Mengapa jarang? Karena pada dasarnya kita ini malas bersusah-susah. Jalan mulus dan gampang lebih disenangi karena jarang orang ngeh bahwa jalan itu menuju neraka!

Oleh: IBM Dharma Palguna
Source: Koran Balipost Minggu, 09 Januari 2011

Previous Menoleh Bingkai Desa, Kala, Patra

Sekretariat Pusat

Jalan Anggrek Neli Murni No.3, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11480.

Senin – Jumat: 08:00 – 18:00

Didukung oleh

Ayo Berdana Punia

Tim IT PHDI Pusat © 2022. All Rights Reserved