Menembus Segala Rahasia Melalui Mata Spiritual

Menembus Segala Rahasia Melalui Mata Spiritual

Na tu mam sakyase drastum
anenaiva sva-caksusa
divyam dadami te caksuh
pasya me yogam aisvaram
(Bhagavad-gita 11.8)

“Sesungguhnya engkau sama sekali tidak bisa melihat Wujud-Ku dengan mata duniawimu ini.
Oleh karena itu, Aku berikan engkau mata spiritual divya-caksu, dan (melalui divya-caksu tersebut) lihatlah kehebatan dari kekuatan yoga-aisvarya-Ku”.

Caksu berarti mata, dan divya berarti spiritual, agung, mulia. Sloka ini memberikan peringatan tegas bagi umat manusia agar selalu mempergunakan “bukan mata dunia” untuk melihat segala sesuatu tentang ketuhanan. Mata yang diperlukan ternyata adalah mata spiritual dan bukan material.

Sebagaimana orang di usia 40 tahun ke atas pada umumnya mulai tidak mampu melihat huruf-huruf yang kecil dan memerlukan kaca mata plus untuk melihatnya, seperti itu pula semakin usia orang bertambah maka semakin banyak pula ia mengalami pencemaran badan dan kesadaran sehingga ia memang memerlukan “mata lain” untuk bisa melihat hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Hanya melalui divya caksu orang bisa melihat hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Mata “lugu spiritual” yang dibawa sejak kelahiran perlahan-lahan menjadi tercemar oleh segala polusi kesadaran akibat dari makanan, pergaulan, bacaan, dan juga oleh praktik-praktik yang kelihatan seperti praktik spiritual. Usaha mengembangkan divya caksu menjadi pilihan yang harus dilakukan. Akan tetapi, divya caksu didapat bukan karena orang menginginkannya melainkan karena Tuhan berkarunia. Selanjutnya, bagaimana kita menciptakan suasana dan kesadaran agar kita “layak” diberikan karunia divya caksu oleh-Nya?

Penjagaan indria-indria duniawi sangat diperlukan. Orang bijaksana selalu menjaga indria-indria agar tidak terlalu banyak bersentuhan dengan objek-objeknya sehingga ia menjadi selamat dari segala jenis pencemaran. Disiplin arahan guru dan kitab suci Veda sangat diperlukan, sebab hanya disiplin dan pelatihan seperti itu yang mampu membukakan mata spiritual. Tuntunan pun harus ada babon sastra bonafid dengan penuntun yang bonafid pula. Usaha lain yang sangat penting dilakukan adalah agar penglihatan mulai diarahkan ke dalam dan mengurangi pandangan keluar diri. Kebanyakan melihat dunia mengakibatkan kesulitan melihat Tuhan.

Jika seseorang mampu meninggalkan pandangan duniawinya dan mulai melihat ke dalam dirinya maka saat itulah semua sifat-sifat galak, nafsu, iri, cemas, dan lain-lain akan berlarian menjauh darinya. Apabila orang telah menanggalkan “mata dunia” dan mulai memakai “mata spiritual” maka saat itu segala sifat kurang baik akan berguguran, rontok bagaikan rontoknya dedaunan dari pepohonan pada saat musim gugur. Namun, selama seseorang masih asyik memakai “kaca mata dunia” maka selama itu ia akan dipaksa sibuk melihat dan menyaksikan pemandangan duniawi dan ia akan diarahkan serta akan dilelapkan di dalam pergaulan duniawi.

Melalui dhyana-yoga atau meditasi, orang akan sangat terbantu dalam usaha melepaskan “kaca mata duniawi” lalu memakai “kaca mata spiritual”, sebagaimana seseorang yang berkaca mata melepaskan kaca matanya ketika hendak beristirahat atau mandi dan lain-lain. Dengan demikian, tanpa kaca mata duniawi, maka seseorang akan kesulitan melihat hal-hal duniawi dan ia akan terselamatkan dari kelelapan dalam kubangan lumpur duniawi. Kelelapan berenang dalam kubangan busuk lumpur duniawi itu adalah hukumnya kaca mata duniawi. Begitu mata duniawi dipakai maka ia akan memastikan serta memaksa sang pemakainya untuk hanya melihat hal-hal maya, hal-hal khayal duniawi.

Sebaliknya dengan meniadakan pandangan duniawi, begitu orang memakai kaca mata spiritual dengan patuh maka saat itu pula ia akan hanya melihat hal-hal bersifat spiritual, kebenaran, hal-hal tanpa cacat dunia serta penuh kasih sejati yang membahagiakan. Oleh karena itu, para dhyana-yogi sangat diharapkan agar senantiasa berusaha untuk lelap dalam memakai kaca mata spiritual. Kalau tidak maka ia akan kehilangan pandangan spiritualnya dan akan tertipu dalam pandangan lain, yaitu pandangan selain pandangan kebenaran, entah ia dalam kemasan hiasan kata-kata indah atau dalam kemasan hiasan ciri-ciri luar lainnya yang serba meriah.

Ada dua pilihan dalam hal ini, yaitu: Satu, lupakan serta jangan terlalu dipikirkan, dan cara kedua (yang lebih baik) adalah, setiap pikiran pergi ke arah lain, segeralah “tangkap” dan bawa lagi kepada objek meditasi. Jika merasa sulit melakukannya dengan mata terpejam maka biarkanlah mata dalam keadaan terbuka. Kalau masih tetap merasa sulit, visualisasikanlah dalam bentuk tulisan angka atau mantra, bersamaan dengan itu sebutkanlah dalam batin angka atau mantra pilihannya. Cara ini sangat membantu konsentrasi. Biasanya persiapan bermeditasi yang cukup akan membantu konsentrasi yang baik, karena tanpa persiapan yang cukup jangan harap dapat berkonsentrasi dengan baik, kecuali jika seseorang sudah mencapai tingkat sangat maju dalam dhyana-yoga dan samadhi.

Orang yang sudah maju dalam dhyana-yoga tidak memerlukan waktu lama untuk memantapkan konsentrasinya. Ia bisa “sunyi” dalam keributan dan sama sekali tidak terpengaruh oleh apa pun hal-hal yang ada di sekitarnya. Ia akan menyendiri dalam keadaan sunyi dan juga dalai keadaan ramai hiruk-pikuk. Tentu saja, sebaiknya orang menghindari terlalu berambisi untuk mencap; tujuan. Kapan pun dan dalai keadaan apa pun, lepaskan di dari keinginan untuk mencap; atau untuk menjadi sesuatu. Para Dhyana-yogi akan memantapka dirinya dalam kesadaran “aku harus melaksanakan dhyana-yoga Hanya itu. Sederhana tetapi perlu dibiasakan.

“Karmam kuru” – Lakukanlah tugas kewajiban dengan baik dan patuh maka hasil akan mendatangkan dirinya kepada anda. Ia merupakan sebuah teknik yang sangat sederhana. Akan tetapi, kita yang serba tidak puas atas kesalahan keadaan maupun kesalahan diri sendiri menjadi terlalu menyiksa diri dengan menumbuhkan belasan keinginan dari setiap satu keinnginan sehingga menjadi kehilangan kendali.

Orang bijak menetapkan diri dalam mengendalikan yang satu dan menghindari mengendalikan yang banyak. Jika terjadi kekeliruan dalam hal ini maka orang akan terlilit dalam belitan tali kuda-kuda liar yang berlarian kesan kemari dan tidak akan mampu melepaskan diri dari ikatan maha ketat tersebut. Orang lain pun tidak mampu membantu pada saat itu, sedangkan ia pun akan menularkan ikatan-ikatan ketat tersebut pada yang lain. Untuk itu, orang dianjurkan agar menghindari datangnya bahaya besar dengan menyelamatkan diri dari bahaya kecil. Tidak terlalu menghayalkan dan menanti-nantikan hasil yang pasti akan datang, sebaliknya menyerahkan diri pada tugas pekerjaan. Berpuas hati terhadap apa yang harus dikerjakan yaitu hanya memberikan perhatiannya pada pelaksanaan dhyana-yoga dan tidak disibukkan oleh keluhan apa pun.

Mereka juga dengan sangat tekun mempraktikkan apa-apa yang telah diajarkan, menjaga pergaulan, menjaga makanan dan lain-lain. Di sanalah letak kekurangan orang pada umumnya. Mereka abai karena merasa bahwa, “Saya sudah lama bermeditasi, bahwa saya aman….”

Oleh: Darmayasa
Source: Koran Balipost, Minggu Kliwon, 31 Desember 2017

Previous Aywawera: Elemen atau Ornamen?

Sekretariat Pusat

Jalan Anggrek Neli Murni No.3, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11480.

Senin – Jumat: 08:00 – 18:00

Didukung oleh

Ayo Berdana Punia

Tim IT PHDI Pusat © 2022. All Rights Reserved