Purwaning Sembah
Dalam bahasa Indonesia, istilah sembah berarti untuk menghormati, hormat, penghormatan atau penyembahan. Hal ini juga sinonim dengan bahasa jawa, suhun. Menurut Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama kata ini berasal dari bahasa jawa untuk posisi (susunan) tangan dalam pemujaan, dilakukan dengan tangan digenggam bersama-sama, telapak tangan bersentuhan dan jari-jari mengarah ke atas, lalu membungkuk. Pengaturan ini yang memiliki beberapa kesamaan dengan namaste dalam tradisi India disebut “sembah”, yang digunakan untuk menghormati dan memuji. Dengan demikian “susuhunan” dapat merujuk kepada seseorarig untuk memberikan “susunan” atau “sembah”. Kata lain untuk “susuhunan” adalah “sesembahan”. Namun, istilah sembah anehnya terdengar mirip dan serumpun dengan Bahasa Kamboja sampeah, yang menunjukkan asal-usul atau koneksi yang sama.
Salam Namaste, bagian dari budaya India kuno telah menyebar ke Asia tenggara, melalui penyebaran agama Hindu dan Buddha dari India. Sembah berasal dari ucapan penghormatan kuno yang dilakukan untuk menunjukkan antara sujud, atau menempelkan kedua tangan telapak tangan bersama-sama dan membungkuk ke tanah. Gerakan ini pertama kali muncul – 4000 tahun yang lalu pada segel tanah liatdari Peradaban Lembah Indus. Hal ini kemudian dinamakan sebagai Anjali Mudra.
Pada awal abad pertama, peradaban Hindu-Buddha mulai menyebar pengaruh mereka di Indonesia, dan pada awal abad ke-4 pemerintahan Hindu telah mendirikan kekuasaan mereka di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, contoh nya seperti kerajaan Tarumanagara dan Kutai. Pada abad ke-6 sampai ke-9, peradaban Hindu-Buddha berdiri kokoh di pulau Jawa, Bali dan Sumatera, bersamaan dengan naiknya kerajaan Sriwijaya dan Medang Mataram. Gambar sembah atau anjali mudra muncul dalam bas-relief candi-candi tua di Jawa, seperti di candi Borobudur dan Prambanan pada abad ke-9. Dari itulah, gerakan sembah ini menjadi populer dan merakyat di wilayah tersebut, terutama di Jawa dan Bali.
Sikap sembah adalah juga iktikad yang ditetapkan dan gesturyang lazim di keraton atau kerajaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta, di mana sangat penting untuk menyapa seorang raja (Sultan atau Sunan), pangeran dan bangsawan Jawa dengan gerakan ini. Sembah juga adalah gestur sosial yang umum di Bali, di mana warisan etiketdan kebiasaan Hindu, masih dilakukan dan diwariskan sampai saat ini. Namun, dalam tradisi Bali sembah sebagai gestur sapaan biasanya dilakukan dengan menempelkan kedua telapak tangan dan menaruhnya lebih rendah dari dagu. Dalam tradisi Sunda dari Jawa Barat, sembah sering mengganti jabat tangan modern yang dilakukan secara timbal balik; dengan hampir menyentuhkan ujung jari satu sama lain, kemudian mengangkatnya ke depan wajah sampai ibu jari menyentuh ujung dari hidung sendiri.
Dalam budaya Bali kata yang sering diucapkan dengan sembah saat menyapa seseorang adalah om swastiastu, yang seasal dengan kata sawatdee dalam bahasa Thailand, yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang bermakna yang aman, bahagia dan sejahtera, dan astu yang bermakna berarti mudah-mudahan. Pada zaman Hindu di Indonesia, tampaknya bahwa kata “swasti” adalah kata yang diucapkan saat sembah, dengan bukti yang terlutis dalam prasasti batu yang ditemukan di Jawa dan Sumatera yang dimulai dengan rumus svasti di awal; seperti abad ke-7 Prasasti kedukan Bukit yang mulai dengan: svasti, kesalehan kuat sri sakavarsatita 605 ekadasi suklapaksa vulan vaisakha, (sumber: Wikipedia)
Kramaning Sembah
Pada awalnya tata cara sembah yang belum diatur secara pasti. Melalui Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Ajaran Hindu tahun 1982, ditetapkan tentang siapa yang boleh disembah yaitu Sang Hyang Widhi, Dewa, Rsi, Leluhur/Bhatara-Bhatari, Manusia, dan Bhuta. Tentang siapa boleh disembah, dirujuk buku Upadesa (1981/1982) dan buku Tuntunan Muspa karya I Gusti Ketut Kaler (1970/1971). Nampaknya susunan cara sembah ini mengadopsi tradisi yang sudah berkembang di nusantara yang sejalan dengan tradisi Hindu pada masa lalu, mengingat sikap sembah disebut juga anjali mudra. Kesepakatan menggunakan sikap sembah pun nampaknya melalui proses yang cukup panjang oleh tim dengan berkonsultasi pada orang suci atau sulinggih yang paham tentang itu.
Seiring perjalanan waktu muncul istilah Panca Sembah sebagai tata cara sembahyang, pada buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh umat Hindu dengan argumentasi mereka masing-masing. Oleh karena adanya bermacam-macam istilah pada tata cara dan urutan serta sikap sembahyang yang berkembang maka melalui Mahasabha ke VI tahun 1991, ditetapkan kembali tata cara dan urutan sembahyang disebut, “Kramaning Sembah” (krama=urutan yang tepat, sembah=nyembah). Hal ini menegaskan kembali bahwa kramaning sembah adalah tata cara sembahyang yang secara resmi ditetapkan, untuk menghindari adanya beda versi yang berkembang dalam masyarakat.
Kramaning sembah adalah tata cara dan rangkaian sembahyang yang dapat memantapkan hati dan menimbulkan keserasian, kepatutan, dan kesucian (Satyam-Sivam-Sundaram). Dalam Ketetapan Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu tahun 1982, Parisada Hindu Dharma Indonesia telah menetapkan khususnya tentang sikap dan mantram sembahyang sesuai dengan buku Tuntunan Muspa yang disusun oleh Bapak I Gusti Ketut Kaler (1970) dan buku Upadesa terbitan PHDI (1967), kramaning sembah diatur sebagai berikut:
- Kehadapan Sang Hyang Widhi, cakupan tangan diletakkan di atas dahi hingga ujung jari ada di atas dahi hingga ujung jari ada di atas ubun-ubun.
- Kehadapan para dewata, ujung jari- jari tangan di atas, di antara kening.
- Kepada Pitara (roh para luhur), ujung jari-jari tangan berada di ujung hidung.
- Kepada sesamamanusia, cakupan tangan di hulu hati, dengan ujung jari-jari tangan mengarah ke atas.
- Kepada para Bhuta, cakupan ta-ngan di huluhati, ujung jari-jari ta-ngan mengarah ke bawah.
Pada saat sembah dengan tangan kosong di awal dan di akhir sembah-yang, sikap tangan diletakkan di atas dahi seperti sikap pada nomor 1 di atas. Khusus kepada Rsi/Sulinggih/Guru Kerohanian, cakupan tangan di antara huluhati dan dagu. Khusus untuk mendoakan roh orang yang meninggal, dengan berdiri tegak (pada asana) dengan sikap tangan mamusti di pusar.
Hakikatnya sikap sembah atau anjali mudra adalah salah satu mudra yang memiliki efek memperoleh kestabilan diri seperti yang disebutkan dalam Gerandha Samhita, 10-11 (Mudraya sthirata caiva; dengan mudra stabilitas di dalam tubuh terjaga). Stabil yang dimaksud adalah tidak goyahnya pikiran yang merupakan tujuan dari yoga itu sendiri. Sehingga sikap sembah adalah juga yoga yang bertujuan menghubungkan atman dengan paramatman. Dalam kontek ini sikap seseorang menyembah sebenarnya adalah memberikan penghormatan kepada atman yang hakikatnya sama dengan Brahman.
Dalam memberikan penghormatan yang tulus hendaknya sembah yang ditonjolkan adalah wahyadhyatmika atau lahir bathin yang mengacu pada bagaimana seseorang memberikan penghormatan dengan segenap cinta kasih bhakti. Sembah yang mendalam harusnya mencerminkan sikap bathin yang bersih yang mengalirkan perasaan cinta dan hormat yang disebut bhakti, oleh sebab itulah mungkin leluhur kita lebih populer menggunakan istilah mebhakti daripada sembahyang.
Sembah adalah Yoga
Ada beberapa rujukan yang mengacu pada kata sembah sebagai dasar pertimbangan mengapa cara mendekatkan diri dalam agama Hindu disebut sembahyang. kakawin Arjuna wiwaha menjelaskan:
PupuhXI.1 -Mrdukomala
Om sambahninganathatinghalana de Trilokasarana wahyadhyatmika sambahi nghulun
i jongta tan hana waneh sang lwir agni sakeng tahen kadi minak sakeng dadhi kita
sang saksat metu yan hana wwang amutertuturpinahayu
Terjemahan:
Om Hyang Widdhi saksikanlah sembah hamba wahai penguasa tiga dunia,
Lahir bathin sembah hamba kehadapan-Mu tiada lain engkau bagikan api didalam kayu, pun juga bagaikan minyak didalam dadih.
Hanya pada orang yang menekuni kesadaran engkau menampakkan diri.
Naskah kakawin Arjuna wiwaha memaknai sembah sebagai “Wahya dyatmika sembahing hulun”, yaitu lahir bathin. Pernyataan bahwa diri manusia terdiri atas tubuh dan jiwa yang hendaknya bersatu. Penyatuan badan dan jiwa ini sering disebut sebagai penyatuan atau manungalaken ikang bayu (nafas), sabda (suara), dan idep (pikiran). Jadi sembah itu hendaknya melibatkan badan yang dikendaiikan oleh nafas (pranayama), suara (mantra) dan pikiran (mental). Tentang penyatuan ketiganya Wrhaspati Tattwa menjelaskan: Tentang Pranayama (olah nafas/ bayu):
Ikang sarwadwara kabeh yateka tutupane, mata, irung, tutuk, talinga, ikang vayu huwus inesep nguni rumuhun, yateka winetwaken maha waneng wunwunwn, kunang yapwan tan abhyasa ikang vayu maha-wane ngkana, dai ya winet-waken mahawaneng irung ndan saka sadiki dening mawetwaken vayu, yateka pranayamayoga ngaranya. (Wrhaspati Tattwa sloka 56)
Terjemahan:
Pranayama (pengatuaran nafas) ialah menutup semua jalan keluar nafas dari batok kepala (pada saat meninggal). Semua jalan keluar harus ditutup mata, hidung, mulut, telinga. Nafas yang telah ditarik dikeluarkan melalui batok kepala. Jika orang tidak mengeluarkan nafas dengan cara ini, maka nafas ajkan keluar melalui hidung. Tapi ia hanya mengeluarkan sebagian kecil dari nafas itu. Inilah yang dinamakan Pranayamayoga (Putra,dkk, 1998 : 62)
Tentang pemusatan pada Suara (Ong Kara Sabda /Suara)
Hana ongkara sabda umung-gwing hati, yateka dharanan, yapwan hilang ika nora karengo ri kala ning yoga yateka sivatma ngaranya, sunyawak bhatara
siva yan mangkana yeka dhara- nayoga ngaranya. (Wrhaspati Tattwa sloka 57)
Terjemahan:
Omkara yang merupakan sifat siwa harus ditempatkan dalan hati penuh dengan Tattwa. Karena Omkara dipegang terus maka dinamakan “menahan” dhrana. Suara omkara bertempat di hati. Orang harus memusatkan pikiran kepadanya. Bila lenyap dan tidak didengarkan saat beryoga dinamakan Sivatman. Dalam keadaan seperti itu Bhatara Siwa dikatakan dalam keadaan kosong. Inilah dharanayoga. (Putra dkk, 1998 : 62).
Tentang pemusatan pikiran (idep) Ikang jnana tan pangrwarwa, tatan wikara, enak heneng-heneng nira, umideng sad tan kawarana, yeka dhyanayoga ngaranya. (Wrhaspati Tattwa sloka 55)
Terjemahan:
Dhyana (meditasi) adalah yoga yang terus menerus memusatkan pikiran kepada suatu bentuk yang tak berpasangan, tak berubah damai dan tidak bergerak. Pengetahuan yang indah tak berpasangan tidak berubah indah dan tenang, tetap stabil, tanpa selubung yang demikian itulah Dhyanayoga. (Putra dkk, 1998 : 61)
Oleh karena itu dalam sembahyang dengan sikap sembah ada beberapa unsur yang terkandung didalamnya:
- Sikap atau gestur menghormat dengan mewujudkan sikap bhakti (satyam), yang dilandasi oleh kesucian hati (siwam), dengan mencakupkan tangan yang mengandung nilai estetika (sundaram);
- Sikap bathin yang mendalam yang merupakan cermin dari penyatuan nafas, suara dan pikiran (bayu, sabda, dan idep) yang secara keseluruhan merupakan meditasi;
- Sikap sembah atau anjali mudra adalah salah satu mudra yang memiliki efek memperoleh kestabilan diri seperti yang disebutkan dalam Gerandha Samhita, 10-11 (Mudraya sthirata caiva; dengan mudra stabilitas di dalam tubuh terjaga).
- Membangkitkan sifat cinta kasih dan hormat terhadap semua makhluk dengan memberikan penghormatan kepada yang kekal yaitu atma, yang terdapat di dalam setiap makhluk; dan
- Merupakan pelestarian dari tradisi adiluhung bangsa Indonesia yang sejalan dengan nafas Hindu yaitu Weda.
Oleh: Gede Adnyana
Source: Majalah Wartam Edisi 49 l Maret 2019