Panca Brata Nyepi : Amati Gni, Karya, Lelungan, Lelanguan, dan Online

Panca Brata Nyepi : Amati Gni, Karya, Lelungan, Lelanguan, dan Online

Dunia maya merebut kesadaran manusia masa kini. Online saat Nyepi pun menjadi tradisi. Alih-alih instropeksi diri, Nyepi malah dijadikan momentum selfie. Tradisi leluhur mulai kehilangan taji, tergerus kepongahan teknologi informasi. Jika sudah begini, apakah ‘Panca Brata ’ Nyepi hams dijadikan solusi?

Svami Rama, seorang pengembara yang menghabiskan separuh hidupnya bersama para yogi di Himalaya mengatakan, “keberanian adalah tangga pertama dan utama untuk menapaki jalan rohani.” Para sesepuh Jawa menyatakan hams tatag (pemberani), tangguh (tangguh), dan tanggon (teguh). Berani mengisyaratkan kesanggupan untuk ‘melakukan’ karena jalan rohani senyatanya adalah praktik (laku).

Manusia juga harus tangguh karena menjalani kehidupan rohani pasti banyak godaan, halangan, rintangannya. Terakhir adalah teguh, yakni komitmen moral untuk mematuhi seluruh aturan yang ditetapkan pada laku yang dijalani. Apabila jalan rohani ber- tujuan mencapai pembebasan jiwa dari belenggu kesengsaraan (samsara), maka keberanian, ketangguhan, dan keteguhan menjadi prinsip rohani yang paling fundamental.

Pertanyaannya sekarang, “apakah yang disebut berani?” Semakna dengan itu, teks Niti Satakam memaparkan sebuah dialog, “Siapa yang disebut pemberani? Ia yang mampu mengalahkan sebelas indrianya”. Artinya, keberanian sejati bukanlah berani kepada orang atau makhluk lain, melainkan keberanian untuk menaklukkan sebelas indria yang menjadi sumber kekotoran rohani manusia. Menyucikan diri dari sampah-sampah pikiran, nafsu inderawi, dan belenggu-belenggu duniawi merupakan perintahnya. Oleh karena itu, jalan rohani menumt Hindu sepenuhnya berpusat pada pengendalian diri (tapa), pemisahan diri (brata), penghubungan diri (yoga), dan kesadaran diri secara terns menems (samadhi). Keempatnya membentuk dimensi niwritti marga yang lebih mengedepankan pengalaman esoteris atau batiniah menuju pemuliaanjiwa.

Dimensi niwritti marga mensyaratkan perluasan makna ritual keagamaan melalui tindakan reflektif dan kontemplatif. Tujuannya untuk memahami hakikat fundamental dari setiap ritual sehingga melahirkan kesadaran baru yang dapat diaktualisasikan dalam dunia-kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu dibutuhkan keberanian untuk melangkah lebih jauh dari mtinitas prawritti marga, ke medan penyadaran niwritti marga. Dengan cara demikian, rutinitas ritual akan terbebas dari sampah-sampah kesadaran yang mengotori nilai sraddha dan bhakti. Sebaliknya, nilai hakiki yang diajarkan setiap ritual tersebut mampu menjadi prinsip pengarah (guiding principle) dalam kehidupan yang lebih luas. Keseimbangan antara prawritti dan niwritti marga inilah yang sepatutnya diupayakan oleh seluruh umat Hindu.

Demikian pula dengan peringatan hari suci Nyepi yang menyertai setiap pergantian tahun Saka. Rangkaian hari suci Nyepi dari melasti hingga dharma santi merajut simfoni makna yang dapat diungkap dengan amuter tutur pinahayu, ‘mengolah kesadaran melalui cara yang benar’. Dalam Kakawin Arjunawiwaha, Mpu Kanwa mengajarkan tiga metode, yaitu olah rasa, olah agama, dan olah buddhi. Olah rasa adalah cara untuk memahami hakikat keindahan (sundaram), olah agama untuk memahami hakikat kesucian (sivam), dan olah buddhi untuk menyadari hakikat kebijaksanaan (satyam). Melalui ketiga metode ini, setiap prosesi ritual Nyepi dapat dimaknai, diintemalisasikan, dan diekstemalisasikan sebagai pedoman sekaligus jalan hidup untuk mengarungi kehidupan praksis-aktual.

Amuter tutur pinahayu mensyaratkan keberanian, ketangguhan, dan keteguhan dari umat Hindu untuk melaksanakan catur brata Nyepi secara konstan. Mengingat catur brata merupakan ruang, waktu, dan kesempatan terbaik untuk berefleksi dan berkontemplasi mengenai hakikat kehidupan. Brata adalah pemisahan diri dari pantangan-pantangan yang telah ditetapkan, yaitu amati gni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak beraktivitas), amati lalungan (tidak berpergian), dan amati lalanguan (tidak menikmati ke-indahan). Tujuannya supaya sampah-sampah pikiran (klesa) yang akan menghalangi jalan menuju pencerahan, antara lain kebodohan (awidya), kesombongan (asmita), keterikatan (ragha), ketakutan akan kematian (abhinivesa), dan rasa benci (dvesa) dapat dilenyapkan. Dengan demikian, sang jiwa akan mencapai kesadaran murninya.

Namun dalam pelaksanaannya, catur brata masih menyisakan berbagai persoalan, baik pada tataran prawritti maupun niwritti marga. Kecuali fenomena fisik, seperti lampu mati, aktivitas kerja terhenti, tanpa transportasi, dan tanpa siaran televisi, nyaris sulit untuk mengatakan bahwa umat Hindu telah menjadikan catur brata sebagai momentum refleksi dan kontemplasi. Padahal, amuter tutur pinahayu dalam rangka pemumian jiwa adalah spirit catur brata yang sepatutnya diperjuangkan. Selanjutnya, kesadaran ini diharapkan dapat mendorong perubahan cara berpikir, sikap, dan perilaku ke arah yang lebih baik. Namun ketika proses amuter tutur ini tersumbat dalam catur brata, maka tidak banyak implikasi positif yang dapat disumbangkan dalam kehidupan nyata.

Tatkala proses olah rasa, olah agama, dan olah buddhi belum berlangsung secara sempurna dalam pelaksanaan catur brata, justru umat Hindu zaman now harus berhadapan dengan tantangan bam yang tak kalah peliknya. Tantangan itu adalah hegemoni teknologi informasi berwujud gadget dan smart phone yang telah merebut kedirian sebagian besar masyarakat modern tanpa kecuali. Malahan hampir tidak ada satupun aktivitas masyarakat yang terbebas dari pengaruh teknologi informasi tersebut. Momentum keagamaan pun tidak luput dijadikan objek yang dikonsumsi begitu rupa demi citra dan representasi diri. Aktivitas catur brata yang semestinya menjadi momentum amuter tutur, justru menjadi cara bertutur tentang diri yang sesungguhnya tertidur.

Tidur (nidra, aturu) menunjukkan kondisi tanpa kesadaran. Kondisi ini menunjuk pada Sang Diri (atma) yang tidak menyadari kesejatiannya akibat klesa (sampah-sampah kesadaran) dan maya (kesadaran palsu). Kebalikan dari kondisi itu adalah sadar, bangun, terjaga (jagra, tan atum), yaitu ketika Sang Diri menyadari kesejatiannya (matutur ikang atma ri jatinia). Jadi, transformasi dari nidra ke jagra merupakan tujuan puncak dari catur brata manakala Sang Diri berada dalam kesadaran murnii. Melalui olah rasa, olah agama, dan buddhi dalam pelaksanaan catur brata, manusia dapat menyadari hakikat pengetahuan (gni, jnana), hakikat kerja (karya, karma), hakikat spiritual (lalungan, raja), dan hakikat cinta kasih (lalanguan, bhakti) secara utuh.

Jadi, catur brata Nyepi merupakan proses amuter tutur pinahayu untuk memahami hakikat empat jalan utama (catur marga yoga) dalam rangka menemukan Sang Diri sejati. Keberhasilan pada keempat jalan tersebut ditentukan oleh keberanian, ketangguhan, serta keteguhan manusia untuk melakukan brata guna melenyapkan sampah-sampah kesadaran yang membelenggu Sang Diri. Namun ini menjadi sulit tatkala kesadaran manusia justru diliputi kesadaran palsu (maya) yang menampakkan realitas seolah-olah asli. Seperti juga mekanisme dunia maya – internet yang menyajikan realitas, dimana antara kebenaran dan ketidak benaran tidak memiliki batasan yang jelas (borderless). Realitas yang seolah-olah nyata itulah yang mengiring penikmatnya untuk berimajinasi, bahkan tanpa sadar terlena di dalamnya.

Tidak dipungkiri lagi, bermain di dunia maya saat melaksanakan catur brata Nyepi menjadi cara membunuh sepi yang paling banyak dilakukan umat Hindu saat ini. Malahan catur brata itu sendiri kerap direpresentasikan dengan unggahan-unggahan hasil foto selfie seseorang. Lebih miris lagi, laman media sosial acapkali juga dipenuhi dengan canda-tawa, atau malah sebaliknya caci-maki, dari umat Hindu yang sebenarnya sedang melaksanakan brata Nyepi. Ini tentu menjadi perseden buruk yang dapat mengotori nilai kesucian catur brata dan menjauhkan umat Hindu dari tujuan hidupnya. Apalagi dunia maya merupakan ruang publik yang dapat diakses siapapun sehingga dapat memantik munculnya stigma negatif terhadap tradisi suci ini.

Tegasnya, kebiasaan online saat melaksanakan catur brata mempotensikan sampah kesadaran baru yang niscaya mereduksi kesucian Nyepi. Walaupun ‘Panca Brata’ Nyepi tidak pernah hadir dalam susastera Hindu, tetapi amati online mungkin akan menjadi jenis brata yang begitu mendesak saat ini. Kini semua tergantung pada kesiapan dan keberanian umat Hindu untuk amuter tuturnya dalam menyikapi fenomena ini. Rahayu!!!

Oleh: Nanang Sutrisno
Source: Majalah Wartam Edisi 48 l Februari 2019

Previous Shakti dan Shanti

Sekretariat Pusat

Jalan Anggrek Neli Murni No.3, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11480.

Senin – Jumat: 08:00 – 18:00

Didukung oleh

Ayo Berdana Punia

Tim IT PHDI Pusat © 2022. All Rights Reserved