Berbagai ulasan shastra menjelaskan jika Nirguna Brahman adalah kesadaran murni yang tidak tersentuh oleh cara pandang material, sementara penampakan dunia fisik menunjukkan bila terdapat kekuatan lain yang menjadi jembatan antara yang tidak ternyatakan menjadi berwujud bahkan dapat diraba. Energi tersebut dinamai shakti yang karena kedinamisannya menyebabkan sangatlah besar peranannya dalam proses penciptaan. Suatu pernyataan menarik ditemukan dalam Kubjika Tantra bahwa bukanlah Brahma, Wisnu, dan Siwa yang berperan sebagai pencipta, pemelihara, serta pengurai/ pelebur melainkan para shakti (Brahmani, Vaisnavi, Rudrani). Artinya bila Tuhan tidak menggeser sifat maha halusNya menjadi kekuatan-kekuatan yang lebih kasar maka penciptaan mustahil bisa terjadi. Pemujaan shakti bukanlah sesuatu yang buruk bila sanggup diteruskan kepada penyerahan diri yang tulus kepada pemilik kekuatan yang sejati. Celakanya sangat banyak individu yang hanya memuja kekuatan terbatas pada kekuatan itu sendiri, lebih-lebih mengasumsikan bila kekuatan merupakan miliknya sendiri yang diperoleh dari latihan dan kerja keras.
Dalam filsafat Sivaisme telah dipertegas bila shakti memiliki dua perwujudan yang kontradiktif yakni cit shakti dan maya shakti (vidya maya, avidya maya). Vidya maya dapat membantu evolusi jiwa untuk menyadari sang diri yang sejati, sebaliknya avidya maya menimbulkan kesesatan pikiran sehingga memandang yang tidak kekal sebagai keutamaan. Tentu pengaruh avidya maya lebih dominan dalam dunia materi sebagaimana kata shakti yang diserap ke dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk menggambarkan kehebatan-kehebatan yang dapat ditonton maupun dipertontonkan, atau setidaknya sanggup dinarasikan dengan penuh kehebohan. Begitulah selanjutnya shakti bukan lagi dilukiskan sebagai bagian dari penguasa tertinggi, namun membadan dalam figur-figur yang mampu melakukan hal-hal yang tidak sanggup dikerjakan oleh manusia pada umumnya. Pastinya shakti dalam pengertian avidya maya sangat kontradiktif dengan keterwujudan shanti (kedamaian), baik kedamaian di luar diri si pelaku maupun secara internal bagi dirinya sendiri.
Ketika keadaan masyarakat terpelihara ketenteramannya kepemilikan shakti memang ada dalam wilayah vidya maya karena pemilik kekuatan masih dipersepsikan terpusat pada tokoh-tokoh agama yang identik dengan kesalehan. Bukanlah mustahil bila pada suatu waktu tokoh-tokoh keagamaan yang memegang teguh nilai-nilai kebajikan menjadi kewalahan menghadapi ulah oknum-oknum yang mengagungkan avidya maya. Periode krisis ketika adharma merajalela bukan selamanya merugikan agama namun dapat menjadi kesempatan bagi Tuhan untuk menyatakan dirinya lebih utama daripada kejahatan. Keberadaan dua kekuatan shakti yang sama-sama berasal dari kemahakuasaan Tuhan ini kemudian melahirkan persepsi tentang white magic dan black magic.
Menariknya di Bali terdapat cerita yang dituturkan turun temurun bahwa pada sasih kasanga para penganut ilmu hitam (pangiwa) akan mempersembahkan tumbal (mayah peti) bagi junjungannya. Konon yang menjadi incaran terfavorit adalah anak-anak kecil, namun tidak menutup kemungkinan jika orang yang berumur lebih dewasapun juga disasar bila dalam waktu yang telah ditentukan tidak dapat diperoleh korban seorang anak. Sebelum listrik masuk desa secara masif cerita-cerita mistis semacam itu sukses membuat resah orang-orang kampung terutama yang memiliki anak kecil. Saban sasih kasanga orang-orang menjadi lebih waspada ketimbang bulan-bulan sebelumnya, kegairahan mendatangi tempat-tempat suci atau orang pintar tampak dimana-mana. Agama dalam fase ini terlihat berfungsi sebagai ruang perlindungan bagi orang-orang yang meyakininya kendatipun keterlindungan yang dicita-citakan baru sebatas dalam kehidupan duniawi (umur panjang, kesehatan, dan semacamnya).
Cara beragama yang dimulai dari mitos-mitos tidaklah keliru sebab agama bukan hanya milik orang-orang terpelajar yang paham shastra. Umat-umat awam yang belum mengetahui susur galur tattva tentu kebingungan bila langsung terjun ke jalan jnana. Secara umum individu manusia yang baru terlahir ke dunia tampak sebagai makhluk material, ia hanya bisa bertahan hidup dengan susu bukan oleh filsafat-filsafat ketuhanan. Sesungguhnya sangat sulit untuk menyangkal ketergantungan akan kenikmatan materi yang terlanjur dikecap semenjak detik pertama kehidupan di bumi. Meskipun demikian agama juga punya optimisme untuk membebaskan manusia dari kemelekatan ragawi, oleh karenanya menjadi sangat keliru bila pemahaman agama umat tidak mengalami peningkatan dari fase mistis atau tendensi-tendesi praktis-duniawi. Sasih kasanga ditata sedemikian rupa oleh para sadhu di masa lampau sebagai momentum untuk mempersiapkan diri menyambut tahun baru Saka, diharapkan pada tahun Saka yang anyar terjadi peningkatan spiritual yang ditandai oleh rontoknya berbagai kekotoran bathin (klesa) yang menjadi kebiasaan pada tahun Saka yang telah lewat. Mestinya dipahami bila kekuatan-kekuatan buruk tidak melulu milik makhluk-makhluk jahat atau penyihir-penyihir kejam yang berada jauh di luar sana. Struktur materi dari tubuh sangat memungkinkan avidya maya juga bertengger pada diri sendiri.
Kewaspadaan para orangtua dalam menjaga anak-anaknya setiap datangnya sasih kasanga sesungguhnya memberikan pesan agar lebih peduli dengan perkembangan perilaku buah hatinya. Demikian juga orang-orang dewasa yang tidak luput dari kewaspadaan akan keselamatan dirinya menampakkan ruang untuk mulat sarira terlebih dahulu agar dapat menjadi teladan bagi indvidu-individu yang lebih muda. Kegagalan untuk menjadi pribadi baru yang lebih saleh ketika ngembak geni tiba atau bahkan berbagai nafsu hewani jadi lebih liar dari sebelumnya adalah pertanda ketidakmampuan mengupas makna di balik mitos wingitnya sasih kasanga. Memang mulanya agama bertujuan memberikan rasa aman kepada penganut-penganutnya agar latihan-latihan rohani dapat dilancarkan. Kematangan dalam latihan-latihan rohani menyadarkan jika kedamaian shanti yang dicari bukan hanya di dunia fisikal namun yang terpenting adalah kedamaian nirbatas dalam kesadaran Atman. Ada kalanya zona nyaman duniawi ditinggalkan dengan penuh kesadaran untuk menggapai kesejatian.
Kakawin Nitsastra 11.5 menyebutkan norana shakti daiwa juga shakti tan hana manahen (shakti yang paling kuat adalah kehendak Tuhan/ para dewa). Berbagai masalah tanpa pemecahan yang muncul dalam kehidupan manusia pada satu sisi merupakan pendorong untuk kembali menoleh kepada dimensi ketuhanan. Bila kehidupan manusia hanya dilimpahi kesenangan-kesenangan material yang tidak terbatas maka ajaran-ajaran ketuhanan tengah terancam bahkan dianggap sebagai keyakinan yang telah ketinggalan zaman. Ada yang menghubungkan kata Shanti dengan ceamati (bekerja) atau uamyati (kerja keras yang melelahkan). Manusia yang mencari kedamaian bukan berarti harus menghindarkan diri dari kewajiban-kewajibannya, kerja keras maupun daya kreatif (shakti) sangat diperlukan. Meskipun demikian bila seorang individu terikat pada hasil-hasil kerjanya maka ia akan merasa sangat kelelahan, seberapapun kekuatan yang ada dalam dirinya. Shanti sesungguhnya akan dicapai ketika ia mampu mengistirahatkan indera-inderanya dalam kerjanya. Sama halnya ketika nyepi manusia tidak harus mati suri untuk melakoni amati dengan sukses. Organ-organ tubuh, prana, dan daya mental tetap bekerja tetapi nafsu-nafsu ragawi diistirahatkan dalam keheningan.
Oleh: I Putu Suweka Oka Sugiharta
Source: Majalah Wartam 49 l Maret 2019