Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya menanggapi polemik kata ‘kafir’ yang ramai diperbincangkan setelah munculnya rekomendasi munas ulama NU. Wisnu mengungkapkan, umat Hindu cinta damai dan saling menghormati antarsesama.
“Kita damai, kita saling menghormati saudara lain, agama Hindu sanata dharma, jadi ada subdharma, yaitu kebenaran, ketertiban, kesucian, kemudian pengendalian panca indra. Matanya, hidungnya, mulutnya, kulitnya, tangan, kaki, ini harus bisa terkendali agar kita bisa saling menghormati satu dengan yang lain,” kata Wisnu di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Wisnu pun mengungkapkan, agama Hindu memuja satu Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk itu, dalam Dharma Negara, umat Hindu mengimplementasikan Pancasila. “Dharma agama Panca Sraddha, disitu salah satu hukum. Tanam jagung petik jagung, berbuat baik dan terbaik, maka selalu kita sampaikan ‘om swasiastu’, good good ketemu the best di hati. Dari hati ke hati, dengan cara hati-hati, jangan sampai tertusuk hati. Jadi the best, do the best, setiap saat di mana pun dan kapan pun,” jelasnya.
Untuk itu, Wisnu mengingatkan, bangsa Indonesia khususnya di tahun politik ini untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan. Dia pun mengimbau umat Hindu untuk menghadapi Pemilu 2019 dengan bebas dan merdeka.
“Jadi kita seperti di perempatan jalan, perlimaan, pertigaan, tinggal kita memilih mau ke arah mana kita berjalan. Tentu kita akan mengarah jalan yang terbaik. Saya katakan tadi pakai pikiran, pakai hati yang paling dalam,” imbuhnya.
Wisnu mengingatkan masyarakat Indonesia, khususnya umat Hindu, tidak golput saat pemilu nanti. Dia berharap banyak warga yang akan datang ke TPS untuk mencoblos.
“Semua harus datang gunakan hak dan kewajiban. Kita warga negara punya hak dan kewajiban. Hak asasinya dan kewajiban asasinya. Kewajiban asasi, contoh misalnya orang tua wajib dong didik anaknya, sekolahkan anaknya. Ada tiga api. Api satu, api lupa untuk berdoa kepada tuhan, kedua api dapurnya, ketiga kalau umat Hindu nanti tentu ngaben ya,” tuturnya.
Sebelumnya, persoalan diksi ‘kafir’ pertama kali diembuskan NU. Dalam penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3), ditetapkan 5 rekomendasi, yang salah satunya soal istilah kafir. Istilah kafir, menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Maka yang ada adalah nonmuslim bukan kafir.
Said Aqil mengisahkan, istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad SAW di Mekah untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci, dan agama yang benar. “Tapi, ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku nonmuslim di Madinah, di sana disebut nonmuslim, tidak disebut kafir,” kata Said Aqil.
Source: detik.com