“Yadnya” tak tulus iklas bukanlah sesungguhnya yadnya sempurna. Tulus iklas tak dapat diukur, namun dapat dirasakan dan direnungkan siapa saja sebagai pelakon yadnya. Yadnya adalah korban suci yang jauh dari ketidak-sucian. Tulus iklas merupakan wujud kesucian hati nurani yang menjadikan yadnya satwika, unggul utama. Yadnya satwika lahir dari ketidakterikatan diri dan tak memaksakan diri.
Mengimplementasikan yadnya satwika merupakan jalan luhur. Jalan yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari pada lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Dengan demikian, banyak pelakon yadnya sejati sungguh-sungguh merdeka mengecap manisnya sari-sari yadnya.
Para bijak Hindu mungkin atas nama kemerdekaan hati nurani mengkonstruk cara-cara beryadnya dan menyesuaikan dengan desa (tempat seperti apa dan dimana), kala (kapan waktu yang tepat atau keadaan seperti apa), patra (sumber sastra yang ada). Formula yang tersaji itu dapat memudahkan pemahaman manusia beryadnya dengan kesadaran. Kesadaran menuntun manusia memiliki pikiran ringan tanpa ikatan. Yadnya pun tidak terkesan baku dan kaku.
Yadnya ala desa, kala, patra diharap tidak bermakna sempit, sekedar mempersembahkan sesajen. Membantu orang sedang membutuhkan secara tepat guna, menjaga dan melestarikan lingkungan alam, mengamalkan ilmu pengetahuan merupakan contoh sebagian kecil laku beryadnya. Jika demikian, mau memilih cara yang mana? Silahkan sesuaikan dengan kemampuan.
Umat Hindu mungkin masih banyak bingung atau kurang paham dalam memilih cara beryadnya. Ada asal ikut-ikutan saja dan kurang memahami desa, kala, patra dalam artian luas. Banyak pula mengatakan beryadnya itu boros, menghabiskan banyak dana. Apakah pelaksanaan yadnya yang dikatakan pemborosan ini merupakan tanda-tanda penyempitan pemaknaan yadnya? Coba kita tanyakan pada diri sebagai penganut ajaran yadnya.
Hindu sejatinya menawarkan pilihan cara dan tingkatan beryadnya. Disarankan pula menggunakan wiweka (menimbang- nimbang sesuatu pilihan) untuk memilih cara-cara beryadnya yang tepat guna. Kini yadnya cendrung diukur dengan materi. Konsepsi desa, kala, patra pun semakin beku dan semu. Apakah alasan itu muncul karena gengsi? Mari kita renungkan dalam diri, agar pelaksanaan yadnya tak dijadikan dalih untuk jual tanah warisan dan berhutang di Bank.
Hinduisme menuntun umatnya beragama secara fleksibel, terbukti banyak pedoman yang tidak baku berlaku secara umum dalam beryadnya. Walaupun belakangan ini yadnya yang dimaknai sebagai sebatas ritual oleh pihak-pihak berwenang yang mencoba menyamakannya, namun di masyarakat tidak sepenuhnya dapat diterapkan, mengingat desa yang satu dengan yang lainnya memiliki cara-cara mentradisi dan menyesuaikan dengan desa, kala, patra yang telah disepakati, baik dalam tataran keluarga, kelompok masyarakat maupun banjar.
Banyak juga terjadi pergeseran pemaknaan yadnya di Bali, dengan rentangan waktu panjang dan proses pewarisan tradisi, mempengaruhi terjadinya perubahan dan pergeseran pakem-pakem yadnya. Misalnya perayaan Tumpek Landep yang sejatinya dijadikan hari penyadaran bahwa manusia memiliki pikiran runcing nan tajam. Dipraktekkan dengan mengupacarai pusaka seperti keris dan tombak. Namun kini entah karena apa, Tumpek Landep lebih dimaknai sebagai hari otonan kendaraan bermotor.
Beryadnya yang keliru dalam rekaman waktu adalah yadnya yang tidak memiliki keseimbangan dalam konteks tempat, waktu atau keadaan dan sastra yang ada. Mungkin tempat dan waktunya yang sesuai, namun catatan-catatan mengenai itu kurang dimaknai. Kesesuaian antara desa, kala, patra menandakan Hindu mengajarkan yadnya secara fleksibel. Misalnya, membantu orang yang tidak memerlukan bantuan adalah yadnya yang keliru. Membuat upacara dengan biaya besar dan akhirnya menyisakan hutang besar di Bank dan membuat diri menderita ptau menjual tanah warisan adalah tindakan keliru.
Sebagai pelakon yadnya hendaknya manusia menggunakan wiweka, berpedoman pada desa, kala, patra secara seimbang. Ritus yadnya bukan merupakan puncak pencapaian, namun sebagai jalan untuk dilalui dalam proses penyadaran manusia sebagai makhluk yang sering keliru. Yadnya sejatinya adalah cara yang ditawarkan pada umat Hindu untuk membayar hutang kelahiran ke dunia.
Saripati yadnya berdasarkan desa, kala, patra sebagai keluwesan ajaran Hindu yang menunjukkan universalitas, sehingga yadnya sesuai dengan “tuntutan” jaman, bukan “tuntutan” jaman. Yadnya yang tidak memaksa, namun mengalir merasuki tempat, mengarungi melodi waktu, dan meresapi sumber-sumber sastra yang disepakati.
Oleh: I Made Arista I Pondok Ijo Bang Bangah
Source: Majalah Wartam, Edisi 31 September 2017