Tidak Menyimpan Keburukan Sampai Mati

Tidak Menyimpan Keburukan Sampai Mati

durjanam sajjanam
kartum upayo na hi bhutale
apanam satadha dhautam
na sresthamindriyam bhavet

(Canakya Niti Sastra 10.10)

“Tidak ada upaya apa pun di atas muka bumi ini untuk mengubah orang jahat menjadi orang baik mulia,
sebagaimana anus walaupun dengan berbagai cara dan ribuan kali dipuci, tetap saja ia tidak bisa menjadi mulut”

”ADA kata durjana, dan ada kata sujana atau sajjana. Kata jana berarti orang. Durjana berarti orang jahat, sujana berarti orang baik, sajjana berarti orang yang selalu berada dalam jalan kebenaran.

Dikatakan, mengubah orang jahat menjadi orang baik-baik bukan susah melainkan tidak mungkin. Sifat dan kelakuan jahat sudah menjadi darah dan daging bagi orang jahat. Kejahatan sudah menjadi dan memberikan “kepuasan” tersendiri baginya. Bahkan ia tidak akan bisa hidup tanpa “kepuasannya” tersebut, yaitu tanpa berbuat jahat mereka merasa hari-harinya menjadi aneh dan “tanpa rasa”. Hari-harinya seperti sudah menjadi keharusan untuk diisi dan dihias dengan kejahatan atau perbuatan-perbuatan tidak baik. Sebagaimana orang tidak bisa hidup tanpa nafas, seperti itulah sang durjana tidak akan bisa hidup tanpa melakukan keburukan dan kejahatan. Itulah durjana yang dimaksudkan di sini, dan bukan orang yang “mengalami kecelakaan” berbuat tidak baik atau jahat.

Orang yang karena sangat terdesak oleh situasi dan kondisi hidup, berada dalam pilihan antara hidup dan mati, maka dari pada anak istrinya mati, barangkali kesempatan melintas di hadapannya, maka ia “keseleo” berbuat jahat. Kejahatan karena “kecelakaan” seperti itu tidak dimasukkan ke dalam katagori durjana karena bukan sifat aslinya jahat melainkan keadaan dan “kesempatan” yang “memaksa” ia untuk berbuat jahat. Mereka bukanlah para durjana luar-dalam, depan-belakang, atas-bawah dipenuhi oleh keburukan dan kejahatan.

Durjana yang darah dan dagingnya dipenuhi oleh kejahatan, berbuat baik hanyalah “kemasan” luar demi penyempurnaan kejahatannya. Mereka tidak memperlihatkan kejahatan melainkan manyajikan kejahatan. Mereka memerlukan kemasan serapi mungkin sehingga kejahatan “berubah” di mata orang menjadi kemuliaan, sebagaimana perusahaan “batu berlian” mengolah bahan kaca menjadi kelihatan seperti berlian asli.

Durjana seperti itulah yang dimaksudkan oleh Canakya Pandit sebagai orang yang tidak mungkin berubah dan tidak mungkin dapat diubah, oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. Dikatakan, Dewa Brahma sekali pun datang ke dunia, tidak mungkin berhasil mengubah durjana menjadi sujana. Jika Dewa Brahma pun tidak mungkin berhasil melakukan “pekerjaan mulia” tersebut, lalu bagaimanakah dengan kita orang-orang biasa yang mempunyai kecendrungan berbuat salah, akan mampu mengubah durjana menjadi sujana? Itu adalah pekerjaan yang impossible alias tidak mungkin. Terhadap durjana orang hendaknya berhati-hati memberi dan menerima pergaulan. Kitab suci mengajarkan agar orang menyelamatkan diri dengan “tyaja durjana sanggatim”, jauhkanlah diri dari pergaulan dengan orang-orang jahat durjana.

Meninggalkan pergaulan dengan orang-orang jahat tidak dilakukan dalam kebencian melainkan dalam kasih. Siapa pun di atas muka bumi ini tidak boleh membenci siapa pun. Hak orang hanyalah mengasihi dan bukan membenci. Menjauhkan diri,dari pergaulan dengan orang jahat hanyalah cara menyelamatkan diri demi tidak terbawa arus ikut menjadi jahat. Sebab, pergaulan sangat kuat menarik orang ke arah lingkungan pergaulan, perlahan-lahan orang akan menyenangi dan akhirnya menjadi lingkungan itu sendiri.

Usaha sia-sia mengubah durjana menjadi sujana dan/atau hal yang tidak mungkin durjana berubah/mengubah diri menjadi sujana diumpamakan oleh Canakya Pandit sebagai usaha menuangkan madu Sumbawa yang asli dan sangat manis berdrum-drum pada pohon Nimb atau Intaran dari atas sampai ke bawah, dari ujung daun paling atas sampai pada akar pohon Nimb, maka pohon Nimb akan tetap mempertahankan rasa pahitnya. Ia tidak akan pernah berubah menjadi manis. Ia dengan bangga tetap mempertahankan rasa pahitnya dari ujung daun sampai ke akar terdalam.

Durjana seperti itu tidak mungkin berubah menjadi sujana. Sedangkan mereka yang karena “kecelakaan” lalu menjadi alpa sehingga berbuat salah atau jahat, tersedia kesempatan luas untuk berubah. Mereka tidak “menutup” pintu untuk berubah. Orang bijaksana menghindari “mengadili” orang selamanya jahat. Orang seperti barangkali kelihatan berbuat jahat, namun pada waktunya akan memperlihatkan diri bahwa dirinya bukan durjana melainkan adalah orang yang layak berubah menjadi sujana. Bukan tidak mungkin bisa berubah menjadi orang yang sangat baik serta mulia melebihi orang baik-baik pada umumnya.

Contoh orang-orang seperti itu dalam sejarah jumlahnya sangat banyak. Ratnakar adalah seorang perampok di hutan. Hidupnya dan cara menghidupi keluarganya hanyalah dari cara merampok orang. Ayah, ibu, istri dan anak-anaknya hidup dari hasil rampokan Ratnakar. Akan tetapi, pada akhirnya sentuhan kebaikan sedikit saja membuat dirinya berubah sebesar 108 derajat, berbalik arah dari seorang perampok jahat dan ganas berubah menjadi seorang Rakavi maha agung, yaitu Maharesi Valmiki.

Munshiram, seorang pemabuk dan atheis berubah menjadi orang suci ahli Veda dan menyerahkan seluruh diri serta kekayaannya untuk menyebarkan dan menegakkan ajaran Veda. Belakangan terkenal dengan sebutan Svami Sraddhananda Sarasvati dan menjadi orang nomor 3 di dalam gerakan pembangkit, penyebar, dan penegak ajaran Veda dari gerakan Arya Samaaj, setelah Swami Virajananda Dandiisha dan gurunya sendiri, yaitu Svami Dayananda Sarasvati.

Orang-orang seperti itu sangat banyak dan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada orang durjana yang memang darah dagingnya durjana. Oleh karena itu, tidak dianjurkan “mengadili” orang jahat selamanya jahat. Sebagian besar mereka dapat diperbaiki. Kejahatannya bukan karena darah dagingnya jahat melainkan karena kegelapan avidya, ditambah lingkungan pergaulan jahat. Orang-orang seperti itu memerlukan sentuhan-sentuhan satsanga atau sadhu-sanga untuk “merangsang” mereka kembali ke jalan mulia dharma.

Sat-sanga merupakan pergaulan suci yang mengarahkan orang pada jalan kebenaran sejati Sat. Sedangkan sadhu-sanga berarti pergaulan suci yang mengarahkan dan membentuk orang menjadi orang baik-baik serta mulia. Satsanga maupun sadhu-sanga dilakukan dalam naungan ajaran suci Veda sehingga menjadi pergaulan yang kuat dan pasti untuk mengarahkan orang ke jalan dharma yang indah dan mulia. Tentu saja dalam jalan dharma orang hendaknya menempatkan pertama-tama keyakinan sraddha pada apa yang sedang dilakukannya. Setelah mereka menciptakan dan menjaga keyakinannya menjadi sangat kuat dan ajeg, maka dianjurkan untuk melanjutkan dengan menjaga pergaulan suci di dalam jalan dharma (adau sraddha tatah sadhu-sangga).

“Durjanam sajjanam kartum upayo na hi bhutale” – mengubah durjana menjadi sujana dimaksudkan oleh Resi Canakya sebagai suatu yang sangat amat sulit dilakukan. Orang hendaknya tidak membiarkan diri dipenuhi oleh sifat-sifat tidak baik, dan juga orang hendaknya menyelamatkan diri dari pergaulan yang tidak baik. Hal-hal yang tidak baik, terlebih yang mengarah kepada kejahatan hendaknya dengan segera ditinggalkan. Semua itu bukan bekal yang harus dikemas dan disimpan rapi sampai mati, melainkan satu per satu segera harus ditinggalkan demi kelancaran “perjalanan” menuju alam setelah kematian, menuju kedamaian abadi, menyambut kematian tanpa berbangga menyimpan keburukan.

Oleh: Darmayasa
Source: Koran Bali Post Minggu Pon, 13 Mei 2018

Previous Lungsuran, Surudan, Paridan

Sekretariat Pusat

Jalan Anggrek Neli Murni No.3, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11480.

Senin – Jumat: 08:00 – 18:00

Didukung oleh

Ayo Berdana Punia

Tim IT PHDI Pusat © 2022. All Rights Reserved