Pemikiran mereka, bahkan telah merambah ranah yang menurut para pemikir politik modern cukup kontroversial, yakni apakah politik Hindu bersifat religius atau sekuler? Doktrin politik Santiparwa dengan tegas menyatakan bahwa, “Tanpa politik, Weda pun akan sirna, semua aturan hidup akan musnah, semua kewajiban akan terbaikan, tujuan hidup manusia tidak mungkin tercapai, sehingga pada politiklah semuanya berlindung.” Apabila dibaca sekilas, seolah-olah kedudukan politik lebih tinggi daripada Weda sebagai otoritas tertinggi kitab suci Hindu. Pernyataan ini, karenanya politik harus hadir dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada tahap ini, pemikiran politik Hindu telah menjangkau aspek kehidupan sosial paling mendasar, yakni pentingnya struktur dan pranata sosial untuk mengatur kehidupan masyarakat. Tidak dipungkiri lagi bahwa keberadaan struktur dan pranata sosial sebagai elemen dasar masyarakat merupakan simpul pemikiran sosiologi dan politik modern. Hal ini juga menjadi salah satu alasan sejumlah teoretisi sosial dan politik modern menjadikan pemikiran politik Hindu sebagai objek yang paling komprehensif, dibandingkan dengan teks-teks politik Hindu lainnya. Manusmerti misalnya, teks ini lebih layak disebut kompedium hukum Hindu daripada teks politik. Begitu pula dengan Nitisastra yang lebih tepat diposisikan sebagai teks moralitas dan kepemimpinan Hindu (Upadesa kavya). Sebaliknya, Kautilya Arthasastra tidak hanya mengungkap politik dalam dimensi analitis, tetapi juga teknis. Kautilya Arthasastra merupakan pedoman praktis untuk menjalankan roda pemerintahan karena berbagai aspek ketatanegaraan telah diatur di dalamnya, seperti wilayah, administrasi, hukum, ekonomi, politik luar negeri, pertahanan, dan sebagainya.
Negara Arthasastra adalah monarki sehingga raja merupakan pemegang tampuk kekuasaan tertinggi. Akan tetapi, terlalu dini mengatakan bahwa politik Hindu menganut sistem monarkhi absolut yang memandang kekuasaan raja tanpa batas. Kendatipun dalam sejumlah teks Hindu terdapat pemyataan bahwa raja adalah titisan dewa, tetapi pernyataan ini tidak lantas melegitimasi bahwa Hindu menganut sistem monarkhi absolut. Faktanya, dalam teks-teks Sruti, Smerti, Itihasa, dan Purana ditemukan kisah-kisah penggulingan kekuasaan seorang raja yang lalim. Logikanya, apabila raja adalah titisan dewa, maka ia tidak akan berbuah jahat dan juga tidak mungkin terkalahkan. Artinya, raja bukanlah dewa yang turun menjelma ke dunia dengan kekuasaan tanpa batas, melainkan orang yang dipilih para dewa untuk menegakkan aturan (danda) masyarakat. Manawa Dharmasastra menegaskan bahwa, “Tuhan telah menciptakan seorang raja untuk melindungi dunia dari partikel- partikel delapan dewa”. Makna pemyataan ini bahwa sifat kedewataan merupakan legitimasi sakral kekuasaan seorang raja, bukan saja agar dihormati rakyatnya, melainkan juga perintah moral untuk meneladani keutamaan para dewa. Kitab Sukraniti menegaskan bahwa raja dihormati karena kualitasnya, bukan karena kelahirannya.
Mengingat sistem negara Hindu bukanlah monarkhi absolut, maka kekuasaan raja melekat tugas dan kewajibannya dalam menjalankan roda pemerintahan, bukan pada sosok pribadinya. Arthasastra, bahkan secara tegas menyatakan seorang raja dapat dihukum, jika mengabaikan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, kewajiban utama seorang raja adalah menjamin terlaksananya catur ashrama dharma dan catur warna demi terwujudnya catur purusa artha bagi seluruh rakyatnya. Menurut paradigma politik modern tampak bahwa Hindu telah mengafirmasi konsep negara kesejahteraan (welfare state) dalam bentuk yang khas dan spesifik. Sistem pengelolaan negara menurut Arthasastra juga telah mengenal pemisahan kekuasaan pada tiga lembaga berbeda layaknya trias politica Montesquiue, yakni eksektutif, yudikatif, serta legislatif, yang melekat pada tugas dan kewajiban raja.
Mengacu pada Kautilya Arthasastra, tugas ekskutif seorang raja mencakup, (1) melindungi negara dari delapan jenis bencana (asta mahabhaya), yaitu banjir, kebakaran, kekacauan, wabah penyakit, kelaparan, tikus, harimau, ular, dan gangguan roh jahat/setan; (2) menjauhkan unsur-unsur pengganggu kedamaian; (3) memberikan bantuan kepada anggota masyarakat yang kurang beruntung; (4) mengorganisasi masyarakat dalam menanggulangi bencana alam; (5) menunjuk menteri, pejabat sipil, dan panglima tentara; (6) berkonsultasi dengan Mantriparisadh atau lembaga intelijen negara; (7) Mengontrol potensi keuangan, penerimaan, dan pengeluaran; serta (8) menetapkan kebijaksanaan luar negeri. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, raja dibantu para pejabat pemerintah, seperti mantripurohita (pendeta istana), mantri (kepala-kepala departemen), sannidhatri (bendaharawan), prasastri (hakim), navaka (komandan pasukan), paura (kepala daerah), karmantika (kepala pabrik), mantriparishad (dewan menteri), adhyaksa (pengawas), dandapala (kepala staf angkatan perang), durgapala (komandan benteng), antapala (komandan wilayah perbatasan), atavika (kepala kehutanan), dan masih banyak lagi.
Tugas yudikatif seorang raja bertalian erat dengan salah satu esensi politik Hindu, yakni penegakan hukum dan ketertiban (dandaniti). Maharsi Kautilya menyatakan bahwa dandaniti adalah puncak ilmu politik dan ketatanegaraan. Raja adalah penegak hukum (dandika) yang berkewajiban melindungi rakyatnya melalui penerapan aturan hukum secara tepat dan adil. Untuk melaksanakan tugas yudikatifnya, raja membentuk lembaga peradilan dan menunjuk para hakim yang memiliki kompetensi dan integritas melalui seleksi yang ketat. Raja sendiri adalah kepala lembaga pengadilan tertinggi yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol keputusan hakim. Dengan kekuasaannya, seorang raja dapat menganulir keputusan hakim, juga memberikan pengampunan kepada terdakwa layaknya kewenangan presiden untuk memberikan grasi atau amnesti dalam sistem hukum modern.
Sementara itu, tugas legislatif bertalian erat dengan pembuatan aturan hukum dan perundang-undangan. Walaupun sistem monarkhi memberikan kekuasaan yang luas pada raja untuk menyusun dan menetapkan aturan hukum, tetapi raja bukanlah sumber hukum. Kautilya Arthasastra menyebutkan bahwa sumber hukum yang tertinggi adalah dharma. Menurut Manusmerti, sumber hukum Hindu secara hirarkis meliputi sruti (Catur Veda), smerti (Dharmasastra), si la (perilaku orang-orang suci), acara (adat kebiasaan), dan atmanastuti (kepuasan pribadi). Hanya dalam ketiadaan hukum, dan/atau ketika hukum sebelumnya dipandang tidak efektif lagi, maka seorang raja dapat membuat hukum tertulis bempa maklumat yang diundangkan oleh sekretaris negara. Selumh hukum yang berlaku bersifat mengikat raja dan selumh rakyatnya sehingga raja bukanlah pribadi yang kebal hukum. Dengan kata lain, hukum harus tetap bergantung dan terikat pada dharma, karena itu raja tidak dapat membuat hukum secara sewenang-wenang.
Trias politika Hindu mengantarkan pemahaman bahwa politik adalah sarana untuk menegakkan dharma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Apabila dharma adalah dasar mewujudkari tujuan kehidupan, maka seorang pemimpin atau politisi senyatanya memiliki tugas mulia untuk mengantarkan masyarakat pada tujuan hidupnya. Idealisme ini niscaya terwujud apabila para politisi mampu membangun kompetensi dan integritas pribadinya menjadi sosok dharmika. Dengan demikian, dharma akan memandu setiap langkah politisi dalam melaksanakan swadharmanya untuk melenyapkan seluruh penderitaan masyarakat (ksaya nikang papa nahan prayojana).
Oleh: Nanang Sutrisno
Source: Majalah Wartam, Edisi 34, Desember 2017