Tumpek Landep: Mengasah Generasi Landep

Tumpek Landep: Mengasah Generasi Landep

Secara material, ritual Tumpek Landep yang jatuh pada setiap Saniscara Kliwon wuku Landep lumrah dilaksanakan dengan mengupacarai perangkat produk teknologi yang berunsurkan benda logam. Awalnya, sebagaimana menjadi pengertian ‘landep’ adalah menyucikan benda-benda tajam, berujung lancip (lanying) dan berbahan dasar logam, yang masuk katagori alat persenjataan tradisional seperti keris, tombak, pedang, pemutik, dan sejenisnya. Belakangan kian berkembang, perangkat produk teknologi apa saja yang berunsurkan logam dan dianggap membantu memudahkan aktivitas kehidupan manusia juga diupacarai.

Jangan heran, selain tetap mengupacarai keris, tombak, pedang, dan lainnya yang bernilai kuno, bahkan diyakini sebagai benda pusaka, kini produk teknologi zaman now seperti motor, mobil, komputer, laptop, televisi, mesin percetakan, foto copy, printer, kamera, handphone, peralatan salon, termasuk alutsita (alat utama sistem persenjataan) modern, juga dijadikan objek material ritual Tumpek Landep untuk dibantenin alias ngotonin. Sampai kemudian lumrah terdengar istilah “ngotonin” motor/mobil. Sebagaimana diketahui, otonan berkaitan dengan hari kelahiran, pertanyaan awam (memelog), memangnya dina/hari apa motor atau mobil dan lain-lainnya itu dilahirkan, apa sapta warna, panca warna dan wukunya, seperti lazim dalam perhitungan “tegak oton” yang menandai peringatan kelahiran seseorang?

Tetapi begitulah, orang Hindu, terutama yang disebut anak Bali, memang demikianlah adanya. Apa yang dalam tradisi Hindu menurut sastra tidak ada, bisa saja menjadi ada karena di-ada-kan meski dengan hanya berdasar “rasa”. Padahal menurut pemahaman “rasio”, jangankan yang memang tidak ada acuan sastra, yang sudah menjadi bagian praktik ritual Hindu, lebih-lebih yang hanya berdasarkan gugon tuwon bin anak mulo keto, jika memang secara “rasio” bisa dieleminasi, semestinya berani ditiadakan, setidaknya dikaji ulang. Apalagi belakangan ini muncul trend merekonstruksi tradisi yang tidak jelas rujukan sastra/ pustakanya, semata-mata hanya dilatarbelakangi oleh “pawisik” yang acapkali bersandar pada hal-hal gaib atau magi berdasar mitos. Belum lagi yang berasal dari mimpi seseorang, entah itu orang depresi, tokoh spiritual, paranormal atau para pengiring pekayunan yang kian marak menyeruak.

Dalam konteks memaknai ritual Tumpek Landep, persoalan inilah yang perlu dipahami generasi milenial zaman now, yaitu nglandeping idepnya, agar tidak tumpul alias podol tetapi bisa tampil menonjol dalam hal menjebol tradisi “keto kone” dengan melahirkan ide, gagasan ataupun konsep Hindu kekinian. Gunanya, untuk merevitalisasi dan mereaktualisasi ajaran Hindu yang berada di tataran parawidya agar bisa diturunkan ke dalam tingkatan aparawidya sehingga tidak paradoks, antara konsep dengan konteks juga selalu konek, tidak membuat umat Hindu kebanyakan bingung mempelajari dan berat melakoni. Ajaran Hindu yang masih berupa “rumus” esoterik (rahasia) pun bisa dengan bebas ditarik menjadi “kamus” keseharian, sehingga mempermulus jalan kehidupan umat di tengah persaingan peradaban kontemporer yang semakin sekuler.

Apalagi, zaman sekarang eranya kompetisi, semua kesempatan atau peluang mesti disikapi dengan ketajaman pikiran tanpa meninggalkan kehalusan budi pekerti. Jika generasi zaman kuno, dengan pola hidup sosioagraris persaingan nyaris tidak ada, semua kebutuhan hidup dapat dipenuhi dengan gelis bin kalis bahkan gratis, tinggal mengambil dari alam (di tegalan/kebun, teba, sawah), menjadikan gaya hidupnya serba santai, tidak diburu waktu, dan lebih mengutamakan kesederhanaan dalam kebersamaan.

Berbeda generasi zaman now, roda kehidupan berputar begitu cepat, sarat persaingan, prinsipnya siapa cepat dia dapat, kalau tidak dapat bisa jadi main sikat. Dalam kondisi demikian, yang lemah cepat menyerah lalu kalah, hiduppun menjadi susah, lalu timbul masalah, ajak nyama mekerah, mecokrah hingga berdarah-darah, lantaran beda berkah, yang dapat banyak merasa sukses, sebaliknya yang kekurangan bisa saja stres, lalu ngambres membuat ulah, diantaranya lewat ngiwa, dengan segala bentuk dan aksinya. Hal ini bisa dipahami karena seperti menjadi penciri asli orang Bali, meskipun tampak begitu bhakti, tetapi dibalik itu tersimpan bibit iri hati, rasa dengki dan benci yang apabila tidak diakomodasi atau dimediasi bisa terekpresi melalui cara-cara magis seperti desti, hingga memati-mati.

Selama ini pelaksanaan Tumpek Landep, masih sebatas dalam bentuk ritual berbasis material. Sudah saatnya kini dinaikkan derajat levelnya ke tingkatan intelektual (jnana-tattwa), bahwa substansi Tumpek Landep sejatinya adalah proses pendakian, dari ritual lalu melewati pemahaman intelektual baru akan mencapai puncak kesadaran spiritual. Aktualisasinya, boleh saja tetap bermain di tataran ritual-material, tetapi untuk generasi umat Hindu zaman now, harus disertai upaya membangunkan niat, hasrat lalu bergiat dan bersemangat meningkatkan kemampuan intelektual, diantaranya dengan rajin, rutin, dan disiplin nglandeping idep, terus mengasah dan menajamkan pikiran agar tidak terjebak anggapan bahwa idupe sakadi idep-idep, hidup itu seperti seolah-olah, padahal memang benar-benar hidup dan sedang menjalankan kehidupan, sehingga wajib hukumnya bagi umat Hindu untuk sungguh-sungguh (seken bin saja) memenuhi swadharmaning kahuripan.

Melalui momentum Tumpek Landep, diharapkan muncul dan tampil generasi ‘landep’, sebagai pewaris dan penerus Hindu dengan modal ketajaman idep, sehingga selalu mampu mengekpresikan cipta, rasa, dan karsanya dalam bentuk karya-karya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang tetap dijiwai ajaran Hindu, guna memajukan sekaligus mensejahterakan memakmurkan umat Hindu, dan umat manusia pada umumnya. Inilah yang disebut idepe ngidupang idup, tidak lagi idupe idep-idepang idup. Bahwa dengan buah pikiran beserta berbagai bentuk hasil karyanya akan dapat melangsungkan kehidupan.

Hanya saja patut disadari, mengasah, dan menajamkan pikiran (idep/citta) saja belum cukup, wajib disertai dengan mengaluskan budhi, agar tidak dikuasai pengaruh ahamkara (ego), yang apabila dibiarkan bisa menjerumuskan pikiran ke arah kesesatan. Jika sesat jalan bisa diselamatkan dengan banyak bertanya, tetapi jika pikiran dikuasai kesesatan, akan terjadi pengkhianatan terhadap amanat dharma, lalu menjelma menjadi pengikut adharma. Mencegah pikiran menjadi sesat, kitab Manusmrti, V.109 memberi tuntunan: ‘jika tubuh dibersihkan dengan air, maka pikiran dibersihkan dengan kejujuran, lalu roh dengan ilmu dan tapa, dan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan”.

Oleh: IGK Widana
Source: Majalah Wartam, Edidi 38, April 2018

Previous Sampah Upakara Yadnya: Berkah atau Musibah?

Sekretariat Pusat

Jalan Anggrek Neli Murni No.3, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11480.

Senin – Jumat: 08:00 – 18:00

Didukung oleh

Ayo Berdana Punia

Tim IT PHDI Pusat © 2022. All Rights Reserved