Menebalkan Imunitas Rohani Siswa

Menebalkan Imunitas Rohani Siswa

Dalam ilmu kedokteran sistem imunitas atau daya tahan tubuh mempunyai arti yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Oleh karenanya, imunitas tubuh harus dijaga dengan sebaik-bailmya, agar manusia tidak mudah diserang oleh penyakit. Daya tahan tubuh atau sistem imun yang baik dapat melindungi manusia dari sejak awal kuman penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh manusia.

Berangkat dari gagasan ter­sebut, memiliki sistem imun yang baik rnerupakan hal penting bagi upaya mencegah masuknya berbagai kuman penyakit ke dalam tubuh, lebib-lebih pada musim rnewabahnya virus corona de­sease (Covid-19) saat ini (https://www.alodokter.com/berbagai­-cara-meningkatkan-imunitas­-tubuh-agar-tidak-mudah-sakit) (diakses, 26 Aguslus 2020). Na­mun, dalarn kenyataanya, sistern imun (daya tahan) tubuh manusia yang harus dijaga tidak saja menyangkut sistem imun secara fisik, tetapi juga sistem imun secara psikologis. Artinya, manusia di dalam menjalani kehidupan di dunia ini tidak saja harus melihat tubuhnya sebagai bagian dari dunia material, akan tetapi juga harus dilihat sebagai bagian dari dunia immaterial. Hal ini menun­jukkan betapa pentingnya pengetahuan agama (pengetahuan spiri­tual) dalarn rnenjaga kesehatan tubuh manusia, baik secara fisik rnaupun secara psikhis. Terkait hal tersebut rnenumbuhkmbangkan imunitas rohani manusia menjadi persoalan menarik untuk dikaji.

Jika persoalan ini dilibat dari perspektifnya Aguste Comte, me­mang seakan tampak ada per­soalan yang bersifat paradoks. Betapa tidak Comte dengan pa­ham positivismenya secara tegas menyatakan bahwa pengetahuan positif merupakan dasar perkm­bangan peradaban umat manusia di seluruh dunia, sehingga pengetahuan agama hanya dipandang sebagai dasar menuju ke jalan pengetahuan ilmiah (positif). Karena itu, menurut Comte jika manusia ingin sehat, cerdas, dan beradab, maka mereka harus mengikuti garis tunggal perkembangan pikiran manusia, yakni mulai dari fase pemikiran teologis, metafisik, dan ilmiah atau positif. Menurutnya, manusia saat ini tidak boleh lagi berpikir abstrak apalagi mistik sebagai mana yang terjadi pada fase metafisik dan teologis (Tri­ guna, 2011 :3). Paradoksnya gaga­san yang dikembangkan Comte tersebut teruji ketika akal sehat manusia tidak lagi sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan hidup yang dibadapi oleh manu­sia. Ketika itulah para ilmuan Barat kembali menoleh kemuliaan Filsafat Timur, yang kemudian oleh­nya dikembangkan Emosional and Spiritual Question (ESQ) dalam rangka menguatkan imu­nitas tubuh manusia dari aspek kerohanianya. Dalam bahasa psi­kologinya dapat dikatakan bahwa Emosional and Spiritual Ques­tion memberikan ruang bagi upaya pengembangan kematangan emo­sional dan spiritual seseorang dalam mencapai keberhasilan atau kesuksesannya dalam menjalani berbagai sistem sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Berangkat dari gagasan ter­sebut dapal dikembangkan se­buah kerangka pemikiran bahwa betapa pentingnya menumbuh­ kembangkan imunitas rohani manusia dari sejak dini, agar dalam menjalani kehidupan yang penuh dinamika, lebih-lebih di era post­ modern dewasa ini, manusia bisa menjalaninya dengan sukses dan berdaya saing tinggi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan imunitas rohani, khususnya dika­langan para siswa adalah melalui penguatan pendidikan agama dan budi pakerti, baik menyangkut aspek kuantitas rnaupun kualitas. Penguatan pendidikan agama dari aspek kuantitas dimaksudkan disini adalah dengan penambahan jumlah jam pelajaran pendidikan agama dan budi pakerti dalam kurikulum pendidikan sekolah. Sedangkan penguatan pendidi­kan agama dari aspek kualitas adalah menyangkut pembenahan metode dan strategi pembelajaran agama dan budi pakerti, sehingga dapat menggiring peserta didik ke arah pencapaian perubahan tiga domain pada diri mereka, yakni domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sementara sistem pendidikan yang berkembang saat ini lebih mengarah pada prinsip-prinsip pragmatisme dibandingkan prin­sip-prinsip pencerahan. Jika hal ini dilihat dari perspektifnya John Dewey, maka dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan yang berkembang, lermasuk di lndo­nesia saat ini adalah sistem pen­didikan yang berbasis filsafat pragmatisme. Filsafat pragrna­tisme menurut Dewey adalah filsafat yang Jebih mementingkan hal-hal yang bersifat praksis (practicality) dan kerja keras yang kriteria utamanya adalah sukses finansial. Jika ditelusuri dari sejarah kelahirannya, filsafat pragmatisme ini dipandang se­bagai ciri khas Amerika, yakni ge­rakan filsafat yang lahir dari pola­-pola kebudayaan Amerika. Ciri utama pola kebudayaan Amerika adalah tidak adanya demarkasi dan stratifikasi sosial yang men­determinasi kelas dalam masya ­rakat. Artinya, posisi sosial dalam kehidupan Amerika pure ditentu­kan atas dasar prestasi kerja. Oleh karenanya, setiap individu dibentuk untuk siap bekerja atas dasar otak dan atas dasar fisik secara serentak, sehingga antara kehidupan intelektual dan kehi­dupan praksis dapat saling me­ngisi satu dengan yang lainya. Dengan demikian dalam kehi­dupan masyarakat Barat (baca: Amerika) tidak ada lagi nilai-nilai yang bersifat teologi dan meta­fisik, akan tetapi semua kehidupan sudah didasarkan alas pemikiran positivistik (ilmiah).

Jika hal ini dilihat dari perspek­tif kritis, model pendidikan prag­matis semacam ini akan menghasil­kan sikap-sikap sebagai berikut: (1) praktis (practicality); (2) kerja keras (workability); (3) mem­punyai nilai uang (cash value); (4) personalisme dan dinamisme; (5) menolak kepasrahan (agre­sive); (6) pasti bisa kalau ada ke­mauan; (7) menjelajah (achievement status); (8) alam sebagai objek; (9) demokratis; (I0) sekularisme. Dari situlah kemudian dalam pikiran masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia muncul pemahaman bahwa “pendidikan sekolah” ti­dak lagi dipahami sebagai pen­didikan untuk pencerahan (pen­didikan berparadigma pencerahan) akan tetapi “pendidikan sekolah” lebih dipandang sebagai alat untuk mencetak tenaga keja siap pakai (pendidikan berparadigma instrumentalisme) dan mimpi­-mimpi indah pun terbangun di dalamnya.

Melihat kondisi pendidikan semacam ini, maka penulis ber­asumsi bahwa menumbuhkem­bangkan imunitas rohani melalui pendidikan agama dan budi pa­kerti merupakan sesuatu yang teramat sangat penting. Sebab ketahanan daya tubuh manusia dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan di dunia ini tidak semata-mata ditentukan oleh sehatnya sel-sel darah putih se­bagai sistem imunitas tubuh manusia secara fisik, akan tetapi juga sangat ditentukan oleh ke­sehatan rohaninya sebagai imu­nitas spiritual yang membentengi kehidupan manusia dari aspek psikologis. Oleh karena itu, men­jadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan dan ditumbuh­kembangkan imunitas rohani pada diri manusia dari sejak dini.

Pasalnya , proses pendidikan yang berkembang selama ini se­nantiasa diwarnai oleh pemikiran positivistik, yang beranggapan bahwa puncak pengetahuan ma­nusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains, yakni ilmu pengetahuan yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur se­cara ketat. Akibatnya, ilmu penge­tahuan yang tidak melakukan verifikasi dan pengukuran secara ketat terhadap fenomena yang menjadi objek garapannya menjadi terpinggirkan. Salah satunya ada­lah pendidikan agama dan budi pakerti yang tidak melakukan verifikasi dan pengukuran secara ketat terhadap objek material yang dikajinya. Dengan sistem demikian pendidikan agama dan budi pakerti termasuk pendidikan huma­niora lainnya sering dipandang sebelah mata, dan posisinya di­ anggap tidak terlalu penting bagi kehidupan manusia modern. Pada­ hal di balik pendidikan agama dan budi pakerti, serta pendidikan hu­maniora lainya mengandung imu­nitas rohani yang dapat menjaga kekebalan tubuh manusia dari as­pek psikologi. Oleh karenanya sekali lagi menurut hemat penulis pendidikan agama, budi pakerti, dan pendidikan humaniora lain­ nya harus direposisi sesuai tugas dan fungsinya masing-masing, sehingga dalam proses mem­bangun sumber daya manusia ter­jadi keseimbangan di antara ke­duanya, yakni antara kehidupan jasmani dengan kehidupan rohani.

Oleh: I Ketut Suda
Penulis adalah Guru Besar bidang Sosiologi Pendidikan
Pro­gram Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia Denpasar

Previous Nyepi, Pandemi, Sunyi

Sekretariat Pusat

Jalan Anggrek Neli Murni No.3, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11480.

Senin – Jumat: 08:00 – 18:00

Didukung oleh

Ayo Berdana Punia

Tim IT PHDI Pusat © 2022. All Rights Reserved