Memahami Tuhan yang Tidak Terpahami

Memahami Tuhan yang Tidak Terpahami

tadejati tannaijati
tad dure tadvantike
tadantarasya sarvasya
tadu sarvasyasya bahyatah

(Sukla Yajur Veda, ISa Upanisad 5)

Tuhan itu bergerak tetapi juga Tuhan itu tidak bergerak, Dia sangat jauh dan Dia juga sangat dekat, Dia ada dalam segalanya tetapi juga di luar segala sesuatu.”

ORANG sering mempertentangkan Tuhan dengan cara, gaya, dan selera masing-masing. Pada akhirnya orang-orang mematok bahwa Tuhan itu (harus) menjadi seperti yang mereka pahami dan sukai. Selain itu, Tuhan bukanlah Tuhan.

Orang sering mencari Tuhan (hanya) di tempat-tempat sembahyang seperti Pura, Masjid, Gereja, Vihara, Mandir, dan lain-lain. Begitu mereka balikkan badan dari Pura dan lain-lain maka dia sudah tidak bersama Tuhan karena Tuhan “dititipkan” di Pura, Masjid, Gereja, Vihara.

Sering pula orang mempertentangkan bahwa Tuhan itu berbentuk (Saguna Brahma) atau Tuhan itu tidakk berbentuk (Nirguna Brahma). Bagi yang berhasil memahami Tuhan dalam bentuk, mati-matian akan mengatakan bahwa Tuhan itu berbentuk. Jika Tuhan tidak berbentuk maka Tuhan bukanlah Tuhan. Sebaliknya juga demikian, jika mereka berhasil memahami Tuhan dalam tidak berbentuk maka jika ada yang mengatakan Tuhan dalam bentuk maka mereka akan mengatakan bahwa Tuhan itu bukanlah Tuhan dan jika orang memuja Tuhan dalam bentuk mereka akan menganggap dirinya pahlawan Tuhan.

Demikian pemahaman perihal ketuhanan beranekaragam sesuai dengan selera yang bahkan sering dibawakan dengan berlindung pada kitab suci. Pada mantra di atas dijelaskan bagaimana orang hendaknya memahami Tuhan melalui pemahaman yang akan menyebabkan dirinya bisa bersama Tuhan kapan saja, dimana saja, dan dalam keadaan apa pun, dan juga bersama siapa pun. Pada pemahaman seperti itu, orang tidak akan “merasa berhak” untuk mempertentangkan Tuhan dan/atau “menciptakan” Tuhan. Mereka akan memiliki kesadaran yang sangat luas dan jelas bahwa Tuhan itu adalah segalanya dan Tuhan itu bukanlah Tuhan seperti yang mereka pahami dan dibuatkan “partai” untuk didukung bersama orang-orang sepemahaman.

“Tad ejati tannaijati“ – Tuhan itu bergerak tapi juga Tuhan itu tidak bergerak. Kata Tat menunjuk pada Tuhan, dan kata ejati berarti Dia bergerak. Pemahaman Tuhan yang “dipertentangkan” dalam dua sudut bertolak belakang pada mantram ISa Upanisad ini memerlukan orang untuk tidak mempergunakan kecerdasan, melainkan hati. Sehubungan dengan hal ini, Guru ji Acharya-Sri Kamal KiSore Gosvami selalu mengatakan “collapse your mind, open our heart” – tutup pikiran dan buka hati. Guru ji menjelaskan dalam hubungan dengan bagaimana orang hendaknya memahami hal-hal ketuhanan dan spiritual, bahwa pikiran mempunyai keterbatasan penerimaan dan keterbatasan kemampuan sentuhan. Pikiran bukanlah segalanya.

Upanisad pun menegaskan bahwa hal-hal ketuhanan tidak dapat disentuh oleh kecerdasan yang super tajam (na medhaya). Lapangan tempat bermain kecerdasan itu terbatas. Ada batas dan ada yang membatasi kemampuan kecerdasan. Dia yang dielu-elukan dunia, dia yang dijadikan ukuran “menilai” dunia ternyata bukanlah alat utama yang dibutuhkan untuk menyentuhkan diri pada Tuhan. Disebutkan bahwa sampai dimana batas kemampuan kecerdasan, hal-hal spiritual itu mulainya dari sana.

Untuk memahami Tuhan bergerak tapi Tuhan tidak bergerak, kecerdasan akan macet di Sana. Kecerdasan pada “terminal” ini perlu dibelikan “tiket” baru. Ia perlu dimurnikan melalui berbagai praktik spiritual. Dengan demikian, barulah ia akan mempunyai kemampuan lebih untuk menyentuh hal-hal ketuhanan dan spiritual.

Setelah dimurnikan melalui berbagai praktik spiritual, kecerdasan atau budhi akan menjadi sadbudhi, artinya kecerdasan spiritual. Setelah budhi dimurnikan menjadi sadbudhi barulah ia akan mempunyai kemampuan untuk menyentuh hal-hal ketuhanan dan spiritual lebih jauh lagi.

Pemanfaatan budhi yang hanya dipergunakan dalam belajar-mengajar akan sangat terbatas kemampuannya. Ia hanya akan berhasil mendiskusikan ketuhanan dan spiritual dengan sangat baik, akan tetapi untuk memasuki pemahaman lebih jauh, terlebih untuk berhasil memasuki alam anubhava (pengalaman spiritual), budhi memang perlu “dimasak” lagi melalui praktik-praktik spiritual yang diawali dengan penerapa nyama-niyama-vrata yaitu sumpah-sumpah suci dalam aturan peraturan spiritual.

Sadbudhi-lah yang akan membantu orang untuk memahami Tuhan bergerak tetapi Tuhan tidak bergerak. Tuhan itu tidak diam, akan tetapi pada saat yang sama Tuhan itu diam. Bagaimana Tuhan itu diam, tetapi pada saat yang sama bergerak aktif? Sadbudhi-lah yang akan memberikan pemahaman kepada orang tanpa diganggu oleh pertentangan dan tanpa keraguan dalam bentuk apa pun (na sam Sayah).

Memahami Tuhan itu bergerak, tetapi pada saat yang sama Tuhan tidak bergerak memberikan kesempatan kepada orang untuk memahami bahwa Tuhan itu maha segala, maha kuasa. Barangkali contoh sederhana untuk dunia sederhana dalam hal ini dapat dipergunakan adalah, ketika seseorang sedang duduk menyepi bermeditasi di rumah, dalam sikap kaki padmasana, dengan sikap tangan jnana-mudra, dan mata terpejam, dia sedang diam, tetapi orang itu sedang sangat aktif melalui pikirannya terbang ke kota Palembang misalnya karena mertua sedang opname di rumah sakit. Ada yang melakukan hal yang sama, duduk menyepi, tetapi pikirannya terbang ke kota Palu karena adik manisnya akan melakukan upacara potong gigi. Pada contoh di atas, keduanya diam duduk tenang damai, akan tetapi ia bergerak terus ke kota Palu dan ke Palembang yang sangat jauh. Tentu saja contoh ini tidak mewakili keberadaan Tuhan sehubungan dengan Tuhan itu bergerak dan Tuhan itu tidak bergerak, melainkan dapat memberikan sedikit “clue” untuk kita memahami tadejati tannaijati.

Melalui sadbudhi orang dapat memiliki pemahaman yang benar dan spiritual sehingga hidupnya tertuntun dalam usaha mendekatkan dirinya pada Tuhan. Kecerdasan budhi tidak mampu memahami kekuasaan Tuhan yang saling bertentangan, akan tetapi sadbudhi dapat mengantarkan orang pada pemahaman indah tersebut.

“Tad dure tadvantike” – Tuhan itu jauh tetapi Tuhan itu sangat dekat. Selain bergerak dan tidak bergerak; keadaan kontradiksi-nya Tuhan juga adalah Tuhan itu jauh tapi juga dekat. Tat dure, Tuhan itu sangat jauh, tat antike, Tuhan itu sangat dekat. Jadi, Tuhan itu memang ada sangat jauh di luar langit ke tujuh, di luar surga ke tujuh (satya loka) akan tetapi juga Tuhan itu sangat dekat, ada di sini, di hadapan kita.

“Tadanatarasya sarvasya tadu sarvasyasya bahyatah” – bahwa Tuhan itu ada di dalam diri setiap makhluk, akan tetapi pada saat yang sama Tuhan berada di luar semua mahkluk. Tuhan itu sarvasya antah – Tuhan itu ada di dalam hati setiap makhluk (sarvasya caham hrdi sannivistah), bahwa Tuhan berada di dalam hati setiap makhluk hidup. Juga disebutkan Tuhan itu sarvasya bahyatah – Tuhan itu berada di luar diri setiap makhluk. Dengan demikian Tuhan itu berada di dalam hati setiap makhluk namun juga berada di luar setiap makhluk.

Cara memahami Tuhan seperti ini akan membantu para pencari Tuhan untuk dapat mendekati Tuhan dengan cara lebih ketuhanan daripada cara “kemanusiaan”, maksudnya melalui cara-cara yang hanya dapat diterima oleh akal terbatas manusia. Tuhan ada di tempat sembahyang kuil, pura, tetapi Tuhan juga berada di rumah. Itu karena Tuhan itu jauh tetapi juga dekat. Orang akan mulai melihat Tuhan dalam diri manusia dan bukan hanya di pura, kuil, vihara, masjid, gereja, dan lain-lain.

Melalui pemahaman Tuhan berada di dalam hati setiap makhluk maka orang akan mulai mengasihi setiap makhluk hidup. Melihat Tuhan ada di dalam hati setiap makhluk maka ia akan mangasihi; manusia, mengasihi binatang, mengasihi tumbuhan. Semua akan diterapkan sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri dalam cinta kasih bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Orang bijaksana tidak akan menerima dirinya berada di dalam keagamaan spiritual jika mereka tidak mengasihi manusia, binatang tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya. Orang tidak akan mengertikan dirinya memuja Tuhan hanya ketika mereka berada di pura, masjid, gereja, vihara melainkan juga memuja Tuhan ketika mereka menyayangi binatang-binatang dan tumbuhan.

Leluhur Bali mengajarkan pesan indah ini melalui hari raya Tumpek Wariga untuk menghormati tumbuh-tumbuhan dan Tumpek Kandang untuk menghormati hewan ternak. Kedua hari raya ini menanamkan pemahaman bahwa Tuhan juga bersemayam dalam tubuh hewan dan tumbuhan (cara acara).

Oleh: Darmayasa
Source: Koran Bali Post, Minggu Umanis, 21 Januari 2018

Previous Nyepi Tingkatkan Kohesi Sosial

Sekretariat Pusat

Jalan Anggrek Neli Murni No.3, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11480.

Senin – Jumat: 08:00 – 18:00

Didukung oleh

Ayo Berdana Punia

Tim IT PHDI Pusat © 2022. All Rights Reserved